“Pemulihan lingkungan harus dilihat sebagai satu kesatuan lanskap,” papar Hanif. Ia juga mengisyaratkan konsekuensi hukum yang serius. “Kami akan menghitung kerusakan, menilai aspek hukum, dan tidak menutup kemungkinan adanya proses pidana jika ditemukan pelanggaran yang memperparah bencana.”
Nada tegasnya berlanjut. KLH/BPLH, kata dia, kini akan memperketat verifikasi untuk semua izin lingkungan dan kesesuaian tata ruang, khususnya di area-area rawan seperti lereng curam dan hulu sungai. “Kami tidak akan ragu menindak tegas setiap pelanggaran. Penegakan hukum lingkungan adalah instrumen utama untuk melindungi masyarakat dari bencana yang bisa dicegah,” tandasnya.
Di sisi lain, dari perspektif penegakan hukum, Deputi Rizal Irawan memberikan gambaran yang lebih konkret. Hasil pantauan udara menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.
“Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit,” ujar Rizal.
“Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar. Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara,” tambahnya, menyiratkan bahwa pengawasan ke depannya akan semakin meluas.
Langkah penghentian operasi ini jelas menjadi sinyal kuat. Pemerintah tampaknya tak mau lagi ambil risiko, terlebih dengan musim penghujan yang diprediksi masih akan panjang. Nasib ketiga perusahaan itu kini bergantung pada hasil audit dan pemeriksaan mendalam yang akan segera dilakukan.
Artikel Terkait
UNCTAD Soroti Ekosistem Ekraf Indonesia sebagai Model Global
TRIPA Bidik Rp2 Triliun, Pacu Layanan dengan Relokasi Kantor Broker
Daihatsu Gelar Kumpul Sahabat di Malang, DMasiv Siap Meriahkan Lapangan Rampal
Genset PLN Tiba, RSUD dan Posko Pengungsian di Aceh Tamiang Kembali Terangi