MURIANETWORK.COM - Pengamat hukum tata negara Refly Harun mengendus adanya upaya menggiring opini publik dalam kasus dugaan pemalsuan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Ia menyebut, manuver ini bukan semata soal kebenaran akademik, melainkan pertarungan narasi antara “yang ingin menutup buku” dan “yang ingin membuka fakta”.
"Ini sudah bukan sekadar perkara dokumen, tapi pertarungan opini. Baik dari pihak yang ingin menutup kasus ini dengan dalih 'case closed', maupun pihak yang ingin menguji validitasnya lewat proses hukum,” tegas Refly, dalam program Kompas Petang di YouTube KompasTV Jateng, Rabu (28/5/2025).
Refly merespons temuan dari Indikator Politik Indonesia yang merilis hasil survei bahwa 66,9% responden tidak percaya Jokowi memalsukan ijazahnya, sementara 19,1% menyatakan percaya.
Namun bagi Refly, angka bukan segalanya. “Survei bisa dijadikan alat pembenaran, bukan cermin objektifitas. Kalau dipakai untuk mengakhiri polemik hukum, ini jadi manipulasi persepsi,” katanya.
Survei tersebut dilakukan terhadap 1.286 responden lewat sambungan telepon, dengan margin of error 2,8% dan tingkat kepercayaan 93%.
Tapi, pertanyaannya: seberapa banyak responden memahami konteks detail soal forensik dokumen, teknologi cetak, atau sejarah tipografi tahun 1980-an?
Pengadilan Bukan Forum Opini
Refly menekankan bahwa hanya satu forum yang layak menentukan keaslian ijazah Jokowi: pengadilan.
“Jika keadilan tunduk pada survei, maka kita bukan negara hukum, tapi negara persepsi,” katanya tajam.
Ia juga mengkritik cara sebagian pihak menggunakan survei untuk menggiring narasi publik bahwa isu ini selesai.
Padahal, menurutnya, selama ada argumen valid—baik soal font digital, pola cetak, atau mesin ketik—maka fakta hukum harus diuji, bukan dibungkam.
“Bayangkan, ada dugaan penggunaan font Times New Roman yang bahkan belum dirilis publik pada 1985. Ini bukan klaim sembarangan. Kalau datanya kuat, mengapa tidak diuji di pengadilan?” tanya Refly.
Menurut Refly, masyarakat sedang diseret dalam arena pertarungan persepsi yang dikemas rapi lewat angka-angka.
"Ini bukan hal baru dalam politik Indonesia. Tapi berbahaya jika lembaga hukum ikut terpengaruh," katanya.
Ia pun menutup dengan satu peringatan keras: “Kita sedang menguji bukan hanya keaslian ijazah, tapi juga integritas negara hukum. Jangan biarkan angka-angka dari survei menghapus ruang pencarian kebenaran.”
Sumber Dana
Terkait hasil survei Indikator Politik Indonesia soal ijazah Jokowi ini, Refly Harun mengaku tetap menghormatinya.
Namun, ia tetap melontarkan kritikan, dengan melihat beberapa aspek, misalnya sumber dana dan motif di balik survei tersebut.
Menurut Refly, jika sumber dana survei tersebut berkaitan atau berasal dari yang bersangkutan, dalam hal ini Jokowi, maka ia tidak percaya hasilnya.
"Ya, pertama ya kita hormati saja, tetapi memang kalau saya disuruh mengkritik ya, pertama saya ingin tahu sumber dananya dulu," papar Refly.
"Kalau sumber dananya itu terkait dengan yang bersangkutan atau ada hubungan-hubungan kaitan yang bersangkutan, saya terus terang nggak percaya," katanya.
Lalu, Refly mempertanyakan motif dari survei tersebut, sebab belakangan banyak pihak yang dibayar untuk mengampanyekan bahwa ijazah Jokowi asli.
"Yang kedua, apakah motivasinya, misalnya campaign?" tanya Refly.
"Kan kita tahu bahwa banyak orang sekali yang, maaf kata ya, dibayar untuk mengkampanyekan bahwa ijazah Jokowi asli," jelasnya
"Itu beda sama masyarakat yang biasanya yang ngomong apa adanya," lanjutnya.
Sumber: pikiranrakyat
Artikel Terkait
Di Tengah Polemik Ijazah Jokowi, Roy Suryo Ngaku Dapat Kiriman Glembuk Solo: Insya Allah Balik ke Orangnya
Roy Suryo Tak Percaya Polisi yang Sebut Ijazah Jokowi Asli, Jokowi Mania: Jangan Tinggal di Indonesia!
Survei IPO: Natalius Pigai, Budi Arie hingga Hasan Nasbi Layak Diganti
Anies Baswedan dan Amran Sulaiman Dipertimbangkan Masuk Bursa Caketum PPP