Nah, dengan dasar itu, ia menilai momentumnya sudah tepat. Penegak hukum harus berani. Tak perlu ragu lagi untuk mengusut tuntas, sekalipun berhadapan dengan korporasi besar dan para "beking" yang mungkin bersembunyi di baliknya.
"Penegak hukum tak boleh lagi takut untuk mengungkap korporasi pembalakan liar. Aparat hukum juga tak boleh lagi takut pada beking korporasi pembalakan liar," pungkas Jamiluddin.
Sebelumnya, langkah konkret sudah dimulai. Kementerian Kehutanan diketahui telah menyegel empat titik yang diduga menjadi pemicu bencana. Lokasinya tersebar, mulai dari areal konsesi TPL di Desa Marisi (Tapsel), hingga sejumlah Pengelola Hutan Alam Tanaman (PHAT) milik perorangan seperti Jhon Ary Manalu, Asmadi Ritonga, dan David Pangabean. Tak cuma itu, tujuh PHAT lain dengan inisial tertentu juga ikut kena sanksi segel.
Dugaan sementara mengarah pada praktik pemanenan hasil hutan tanpa izin. Pelanggaran serius ini diatur dalam UU 41 tahun 1999. Ancaman hukumannya pun berat: pidana penjara maksimal lima tahun, ditambah denda yang bisa mencapai Rp 3,5 miliar.
Jadi, sorotan kini tertuju pada proses hukum selanjutnya. Apakah penyelidikan akan berjalan mulus hingga ke akar-akarnya, atau justru mandek di tengah jalan? Warga menunggu jawabannya.
Artikel Terkait
Said Didu Beri Sinyal Bahaya: Kudeta Sunyi Mengintai Istana?
Prabowo Geram, Larang Pejabat Wisata Bencana
Banjir Bandang Sumatera: Penegakan Hukum atau Pencarian Kambing Hitam?
Aturan Baru Kapolri Buka Pintu Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Disorot Langgar Putusan MK