Mengapa Gelar Pahlawan Nasional Perlu Dievaluasi? - Refleksi Kritis
Bangsa yang besar dikenal karena kemampuannya menghargai jasa para pahlawannya. Namun, di balik kalimat sakti tersebut, tersimpan pertanyaan mendalam tentang makna sebenarnya dari ritual tahunan yang telah menjadi tradisi nasional. Setiap tahun, proses panjang dimulai dari pembentukan tim khusus, alokasi anggaran, hingga perdebatan di tingkat akademisi dan politisi untuk menentukan siapa yang layak menyandang gelar Pahlawan Nasional.
Makna di Balik Seremonial Tahunan
Pertanyaan kritis patut diajukan: apakah pemberian gelar ini masih menjadi bentuk penghormatan yang tulus, atau telah berubah menjadi sekadar ritual simbolis yang kehilangan esensinya? Ketika acara ini berubah menjadi rutinitas tahunan yang hampir bersifat sakral, apakah kita benar-benar menjaga memori kolektif atau justru terjebak dalam nostalgia masa lalu tanpa arah yang jelas untuk masa depan?
Institusionalisasi Memori Sejarah
Proses pemberian gelar pahlawan nasional di Indonesia telah mengalami institusionalisasi yang mendalam. Sistem ini melibatkan tidak hanya Kementerian Sosial, tetapi juga tim peneliti, sejarawan, tokoh masyarakat, serta lembaga legislatif dan eksekutif. Rantai birokrasi yang panjang ini tidak hanya menguras energi, tetapi juga menyerap anggaran negara yang signifikan melalui program pembangunan karakter bangsa dalam Rencana Kerja Pemerintah.
Perbandingan dengan Praktik Global
Berbeda dengan praktik di Indonesia, banyak negara memiliki pendekatan yang lebih sederhana dalam menghormati pahlawan mereka. Amerika Serikat mengenang George Washington dan Abraham Lincoln tanpa proses pemberian gelar baru setiap tahun. Di India, Mahatma Gandhi tidak pernah secara formal menyandang gelar "pahlawan nasional", sementara Afrika Selatan menghormati Nelson Mandela tanpa upacara tahunan yang megah. Di negara-negara tersebut, sejarah diposisikan sebagai acuan moral, bukan proyek administratif.
Memori Kolektif yang Berubah Fungsi
Teori memori kolektif Maurice Halbwachs menjelaskan bagaimana masyarakat membentuk identitas melalui ingatan bersama yang dijaga oleh institusi sosial. Namun, Halbwachs juga memperingatkan bahwa memori dapat berubah menjadi beban ketika dipaksakan terus-menerus melalui simbol-simbol yang hampa makna. Ketika penghormatan terhadap pahlawan menjadi proyek tahunan negara, sejarah berisiko berubah menjadi beban administratif yang kehilangan nilai etisnya.
Artikel Terkait
3.000 Sapi Uruguay Terdampar di Laut Turki: Puluhan Mati, Kondisi Mengkhawatirkan
Kronologi Pengeroyokan Celurit di Surabaya Gara-Gara Foto Michat Tidak Sesuai
Prabowo Kagum Intelijen Australia Tahu Kesukaannya pada Musik Bagpipe di Kunjungan ke Sydney
Nenek Diduga Gunakan Uang Palsu di Pasar Duri Kepa, Pedagang: Sudah Dua Kali!