Evolusi inilah yang bikin banyak pegiat pendidikan was-was. Mereka berada di persimpangan. Peran guru dan dosen dikhawatirkan akan diambil alih AI. Faktanya, di beberapa kampus di luar negeri, AI sudah mulai masuk kelas. Dan yang bikin gregetan, penyampaian materinya terkadang lebih sistematis ketimbang dosen yang kurang persiapan.
Ini dianggap sebagai ancaman serius, terutama bagi pendidikan tinggi. Banyak kampus kemudian kalang kabut mendaur ulang kurikulum dan metode pembelajaran agar tetap relevan. Lantas, perlukah kita khawatir?
Esensi Pendidikan
Sebelum AI menjadi buah bibir, kita sudah lebih dulu akrab dengan robot. Robot modern pertama, Unimate, dibuat tahun 1954 untuk keperluan industri. Dari sana, perkembangannya makin pesat. Robot diciptakan untuk mengerjakan tugas berulang agar lebih akurat dan minim kesalahan.
Seiring kemajuan komputer dan informatika, robot jadi makin 'pintar'. Mereka mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan dan mengambil keputusan sederhana. Kini, di era AI, hadirlah robot humanoid yang menyerupai cara berpikir manusia. Mereka dipakai di rumah sakit, industri jasa, dan ya, di dunia pendidikan.
Dengan aplikasi AI seperti Gemini atau DeepSeek, produksi karya akademik yang dulu jadi otoritas eksklusif ilmuwan, kini bisa dihasilkan mesin. Ini sekaligus ancaman dan peluang. Lalu bagaimana kita harus menyikapinya?
Pertama, kita perlu sadar. Menyadari bahwa ada pergeseran tujuan dari teknologi. Dari yang awalnya untuk memudahkan manusia, kini cenderung ingin menggantikan manusia sepenuhnya. Alasannya klasik: manusia dianggap kurang efisien dan produktif. Di balik ini, ada logika kapitalisme yang mengutamakan keuntungan, seringkali mengabaikan aspek kemanusiaan.
Nah, di titik inilah pendidikan tinggi harus punya kesadaran dan keberanian untuk mengarahkan ulang pengembangan teknologi. Kembali ke khittahnya: untuk solusi dan kesejahteraan manusia, bukan sekadar memuaskan nafsu kapital.
Kedua, manusia punya keunggulan yang tak akan pernah bisa direplikasi mesin. Robot mungkin bisa menggantikan fungsi raga dan otak kita mereka lebih kuat dan cepat menghitung. Tapi manusia punya hati, tempat mengolah rasa dan kebijaksanaan.
AI tak akan punya algoritma untuk itu. Karena itu adalah paket lengkap ciptaan Tuhan, yang di dalamnya ada ruh. Pendidikan yang sejati, karena itu, harus tetap melatih olah rasa. Tanpanya, kita hanya akan menghasilkan manusia tanggung: bentuknya manusia, tapi kosong rasa dan kebijaksanaannya.
Jadi, jawabannya, kita tak perlu panik. Dengan kesadaran akan tujuan pendidikan yang sebenarnya, serta komitmen untuk tetap memanusiakan manusia, pendidikan tinggi akan tetap punya tempat. Yang penting, rileks saja menyikapinya. Insya Allah, pendidikan yang berdampak dan bermanfaat bukan sekadar slogan.
Begitukah, Pak Menteri?
Aceng Hidayat. Dekan Sekolah Vokasi IPB.
Artikel Terkait
Hakim PTA Kupang Dipecat Usai Tipu Belasan Orang dengan Janji Palsu CPNS
Pekanbaru Tanamkan Cinta Lingkungan Lewat Pendidikan Sekolah
Enam Pria Indonesia Ditangkap di Perairan Singapura Usai Masuk Ilegal
Catat Tarif Tol Terbaru Sebelum Meluncur Liburan