Mohon Izin dan Ritual Bahasa yang Mengukir Jarak

- Jumat, 19 Desember 2025 | 13:20 WIB
Mohon Izin dan Ritual Bahasa yang Mengukir Jarak

Belakangan ini, saya jadi sering memperhatikan satu kebiasaan berbahasa. Khususnya di dunia kerja. Sebelum bicara, orang-orang seperti punya mantra wajib: "mohon izin...", "izin bertanya...", atau "siap". Rasanya, tanpa frasa pembuka itu, percakapan dianggap belum sah. Seolah-olah itu prosedur standar untuk bernapas.

Yang bikin geli, sering kali ungkapan itu sama sekali nggak nyambung dengan kalimat setelahnya. "Mohon izin, saya sudah kirim emailnya." Atau, "Mohon izin, saya setuju." Bahkan sampai, "Mohon izin, saya sudah duduk." Serius, ini beneran terjadi.

Jelas, maksudnya baik. Ingin terlihat sopan dan tertib. Tapi, pernah nggak sih kita bertanya: dari mana asal-usul kebiasaan ini? Dan yang lebih penting, apa dampaknya buat interaksi kita sebagai sesama?

Ini bukan lagi sekadar selingan kata. Ini sudah jadi verbal tic kebiasaan ucapan refleks, cepat, dan berulang. Awalnya mungkin cuma di lingkungan pemerintahan atau korporat, tapi sekarang udah merambah ke mana-mana. Obrolan di warung kopi, ngobrol dengan driver ojol, sampai chat grup keluarga. Seakan tanpa "mohon izin", omongan kita dianggap kurang beradab.

Bahasa Militer yang Menyebar ke Mana-mana

Sebenarnya, fenomena ini punya akar yang jelas. Dalam tradisi militer, frasa seperti "siap" atau "mohon izin" adalah bagian dari disiplin komando. Sistem ini menuntut respons yang tegas, hierarkis, dan tanpa ambiguitas sangat efektif dalam situasi operasi.

Masalahnya mulai muncul ketika "language game" ini bermigrasi ke ranah sipil. Pemerintahan, dengan budaya birokrasinya yang vertikal, jadi tanah subur pertamanya. Lama-lama, sektor swasta pun ikut-ikutan. Mereka mengadopsinya, mungkin karena dianggap terkesan disiplin dan efisien.

Namun begitu, yang ikut berpindah bukan cuma katanya. Nilainya juga. Nuansa egaliter dan kolaboratif dalam percakapan sipil pelan-pelan tergerus oleh aroma komando dan subordinasi.

Rapat brainstorming yang mestinya cair, tiba-tiba jadi kaku seperti apel pagi. Setiap mau angkat bicara harus "mohon izin" dulu. Setiap tugas diakhiri dengan "siap". Bahkan di grup WhatsApp keluarga, saya lihat ada yang nanya, "Mohon izin, mau tanya, besok makan bersama jadi nggak?"

Ini diskusi keluarga, bukan briefing pasukan.

Suasana jadi berjarak. Kreativitas yang butuh keberanian untuk beda pendapat, akhirnya menguap begitu saja. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi? Cuma tren bahasa, atau gejala yang lebih dalam?

Feodalisme Baru, Bungkusnya Modern

Ini yang saya sebut feodalisme linguistik. Kita sudah puluhan tahun merdeka, tapi mentalitas kolonial ternyata masih bercokol, lewat kata-kata yang kita anggap "normal".

Feodalisme nggak selalu soal menyembah raja. Bisa juga tentang penerimaan tanpa kritik terhadap hierarki, dan ritual bahasa yang terus menegaskan posisi "bawah" dan "atas".

Contoh paling nyata dan agak menggelikan adalah budaya "mengosongkan nomor urut" di daftar hadir. Berapa sering kita lihat lembar presensi dengan nomor 1, 2, dan 3 yang sengaja dikosongkan buat si bos? Padahal, yang datang duluan kan staf biasa. Logikanya presensi siapa datang duluan, dong.

Saya sempat mikir, jangan-jangan ini tradisi atau ada pantangan mistis. Ternyata enggak. Ini murni ketakutan sosial. Semacam penghormatan simbolik yang nggak perlu.

Kalau daftar hadir saja nggak egaliter, gimana dengan percakapannya?

Dalam interaksi profesional, terutama dengan instansi pemerintah, kesan "tidak setara" ini sangat terasa. Dialog nggak mengalir sebagai pertukaran ide, tapi lebih mirip laporan bawahan ke atasan. Kata "mohon izin" jadi tembok pembatas halus yang mengingatkan semua orang soal posisinya dalam piramida imajiner itu.

Padahal semangat kolaborasi modern kan seharusnya mitra-kemitraan, bukan atasan-bawahan.


Halaman:

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Bodyguard Arsin Disebut Hingga Rela Taruhan Potong Leher Apabila Bosnya Ditangkap Karena Pagar Laut Tayang: Jumat, 14 Februari 2025 17:55 WIB Tribun XBaca tanpa iklan Editor: Desy Selviany zoom-inBodyguard Arsin Disebut Hingga Rela Taruhan Potong Leher Apabila Bosnya Ditangkap Karena Pagar Laut Kompas.com/ Acep Nazmudin A-A+ KADES KOHOD ARSIN -- Kepala Desa Kohod, Arsin saat meninjau area laut yang memiliki SHGB dan SHM, di Desa Kohod, kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (24/1/2025) (foto kiri) dan (kanan) suasana kediaman Kepala Desa Kohod, Arsin di Kampung Kohod, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Selasa (28/1/2025). 400 warga Desa Kohod memburu Arsin yang kini tidak diketahui keberadaannya usai rumahnya digeledah Bareskrim. (Acep Nazmudin/ Kompas.com ) WARTAKOTALIVE.COM - Saking percaya diri dengan majikannya Kepala Desa Kohod, Arsin, seorang bodyguard atau Paspamdes disebut hingga sesumbar rela potong leher. Sesumbar seorang bodyguard Kepala Desa Kohod Arsin itu diceritakan oleh Henri Kusuma, penasihat hukum warga korban pagar laut seperti dimuat Tribunnews.com melalui BangkaPos Jumat (13/2/2025). Henri Kusuma mengungkapkan peringai Arsin bak Raja apabila berhadapan dengan rakyat jelata di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten. Sejak menjabat pada 2021, Arsin dikenal sebagai sosok yang arogan dan tak segan memaksa warga untuk mengikuti perintahnya. Jika tidak diikuti, Arsin tak segan mengerahkan preman hingga tukang pukul. Di mata warga Kohod, Arsin seperti monster. Apapun yang dia bilang harus diikuti warga. Arogan, kata Henri Kusuma. Saking arogannya, Arsin sangat percaya diri tidak akan bisa ditangkap oleh siapapun dalam kasus pagar laut ini. BERITA TERKAIT Jadi Tersangka Persetubuhan Anak, Vadel Badjideh Terancam 15 Tahun Penjara - TribunnewsTribunnews.com Jadi Tersangka Persetubuhan Anak, Vadel Badjideh Terancam 15 Tahun Penjara Harvey Moeis Divonis 20 Tahun dan Dimiskinkan Pengadilan Tinggi Jakarta, Kuasa Hukum: Innalillahi - TribunnewsTribunnews.com Harvey Moeis Divonis 20 Tahun dan Dimiskinkan Pengadilan Tinggi Jakarta, Kuasa Hukum: Innalillahi Bukti Prabowo Berpihak untuk Rakyat Kecil, 1.641 Sertifikat Tanah untuk Warga Majalengka - TribunnewsTribunnews.com Bukti Prabowo Berpihak untuk Rakyat Kecil, 1.641 Sertifikat Tanah untuk Warga Majalengka Hasan Nasbi: Kalau Habis Kontrak Jangan Bilang Terkena PHK karena Efisiensi - TribunnewsTribunnews.com Hasan Nasbi: Kalau Habis Kontrak Jangan Bilang Terkena PHK karena Efisiensi Reza Gladys Mengaku Diancam hingga Diperas Rp 5 Miliar, Nikita Mirzani Sebut Ongkos Endorsement - TribunnewsTribunnews.com Reza Gladys Mengaku Diancam hingga Diperas Rp 5 Miliar, Nikita Mirzani Sebut Ongkos Endorsement Reaksi Hasto Kristiyanto Jelang Sidang Putusan Praperadilan Penetapan Tersangkanya Digelar Besok - TribunnewsTribunnews.com Reaksi Hasto Kristiyanto Jelang Sidang Putusan Praperadilan Penetapan Tersangkanya Digelar Besok Dikabarkan Sudah Menikah dengan Dito Mahendra, Ini Pengakuan Nindy Ayunda - TribunnewsTribunnews.com Dikabarkan Sudah Menikah dengan Dito Mahendra, Ini Pengakuan Nindy Ayunda Kecewa Berat Vonis Praperadilan Hasto Kristiyanto, Kuasa Hukum Singgung Soal Peradilan Sesat - TribunnewsTribunnews.com Kecewa Berat Vonis Praperadilan Hasto Kristiyanto, Kuasa Hukum Singgung Soal Peradilan Sesat Hal itu juga dikatakan oleh Arsin dan para antek-anteknya saat menemui Henri dan tim beberapa waktu yang lalu. Bahkan dia menantang Presiden untuk menangkapnya usai polemik pagar laut mencuat ke publik. Baca juga: Pengacara Kades Kohod Tegas Membantah Arsin Palsukan Surat Izin Pagar Laut Tangerang “Dia bilang sambil tangan sambil menepuk dada kiri, ‘Enggak ada yang bisa penjarain gue, sekalipun presiden.’ Itu yang dia katakan,” ujar Henri menirukan ucapan Arsin. Tidak hanya Arsin, para pengawalnya pun bersikap penuh percaya diri. Bahkan seorang Bodyguard Arsin menantang potong leher apabila majikannya tertangkap. Bodyguard-nya bilang begitu juga, Iris kuping gue kalau Arsin (bisa) ketangkap. Eh, jangan kuping deh, tapi leher aja, kalau kuping gue belum mati. Itu kata paspamdesnya tuh, kata Henri sembari menirukan ucapan anak buah Arsin. Sebelum masalah pagar laut ini muncul, Henri mengatakan dua orang suruhan Arsin sempat mendatanginya dan meminta agar masalah ini tidak dibawa lebih jauh, bahkan menawarkan ganti rugi tanah warga yang terdampak. Namun, setelah laporan banyak yang masuk, Arsin dan sekretaris desanya, Ujang Karta, justru menghindar dan menolak bertemu. Ketika saya ajak ketemu, mereka tidak mau. Kami sudah lapor ke banyak tempat. Saya bilang, sudah terlambat, sebentar lagi Arsin akan jadi tersangka, tegas Henri. Hingga berita diturunkan, Tribunnews.com belum mendapatkan konfirmasi Arsin dan masih berusaha meminta tanggapan dari Arsin perihal pengakuan dari Henri Kusuma ini

Terkini