Sudah lebih dari dua puluh tahun lalu, Edward W. Said pemikir yang dikenal lewat bukunya Orientalism menulis sebuah esai tajam berjudul The Clash of Ignorance. Ia dengan tegas menolak tesis Samuel Huntington soal benturan peradaban. Bagi Said, yang terjadi bukanlah pertarungan antara Barat dan Islam, melainkan benturan kedunguan. Sebuah tabrakan yang dipenuhi prasangka buta dan sejarah yang sengaja dilupakan.
Kini, tragedi Gaza yang berkecamuk sejak Oktober 2023 seakan membawa kritik Said itu kembali ke permukaan. Konflik ini sudah lama melampaui sekadar pertikaian politik antara Israel dan Hamas. Yang kita saksikan adalah cerminan dari sebuah kedunguan struktural, di mana pembenaran ideologis dan kekerasan saling menopang.
Lihatlah kekerasan masif yang terjadi. Infrastruktur sipil hancur, kelaparan dibiarkan bahkan tampaknya dijadikan senjata. Semua ini menyingkap wajah kolonialisme modern, yang selama puluhan tahun bersembunyi di balik narasi "perang melawan teror".
Selama bertahun-tahun, dunia Barat terjebak dalam cara pandang yang sempit. Israel selalu dilihat sebagai benteng demokrasi di tengah lautan kekacauan, sementara Palestina direduksi menjadi simbol kekerasan. Narasi hitam-putih ini makin kencang setelah 9/11, lalu dipakai untuk membenarkan dukungan tanpa syarat terhadap Israel. Said punya penilaian lain. Menurutnya, ketegangan ini bukan soal peradaban yang bertabrakan, tapi lebih pada kebodohan yang sengaja dipelihara.
Pulihnya Nurani Barat
Namun begitu, serangan Israel yang kian ekstrem rupanya membuka mata banyak orang di Barat. Korban sipil yang mencapai ratusan ribu baik karena bom maupun kelaparan telah mengubah opini publik secara dramatis.
Informasi kini sulit dikendalikan. Media sosial membanjiri kita dengan visualisasi kekerasan yang tak terbendung, mengungkap fakta-fakta yang selama ini tertutup. Agresi Israel tak lagi tampak sebagai pembelaan diri, melainkan ekspansi kekuasaan yang didasari rasisme struktural.
Mitos "superioritas moral Barat" pun perlahan runtuh. Bagaimana mungkin mereka mengintervensi negara lain atas nama demokrasi, sementara di Gaza sebuah genosida dibiarkan bahkan didukung?
Masyarakat Barat, khususnya anak mudanya, tak mau diam. Gelombang demonstrasi pro-Palestina terbesar dalam sejarah modern membanjiri London, New York, Paris, dan kota-kota besar lain. Survei Pew Research 2024 menunjukkan dukungan generasi muda Amerika terhadap kebijakan militer Israel anjlok drastis pergeseran yang benar-benar baru.
Di tingkat pemerintah, perubahan juga mulai terasa. Spanyol, Irlandia, dan Norwegia kini secara terbuka mengutuk tindakan Israel. Bahkan Perancis dan Inggris, dua arsitek awal geopolitik Timur Tengah, mulai bicara soal pengakuan terhadap negara Palestina. Ini lompatan yang signifikan.
Artikel Terkait
Banjir dan Longsor Landa 14 Kecamatan, Kabupaten Bandung Tetapkan Status Darurat
Polres Tangsel Gelar Jumat Curhat, Warga Serpong Sambut Hangat Ruang Aspirasi
Bupati Aceh Selatan Diperiksa Khusus Usai Umrah Saat Daerahnya Terendam
Bibit Siklon 93W Mengintai, Hujan Lebat Ancam Sulut dan Kalut