Suara dari Dalam
Yang menarik, kritik keras juga datang dari dalam. Film dokumenter Israelism (2023) menggambarkan bagaimana generasi muda Yahudi Amerika mulai mempertanyakan doktrin Zionisme yang dulu diajarkan sebagai kebenaran mutlak. Bagi mereka, kehancuran Gaza adalah pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dalam tradisi Yahudi sendiri.
Di Israel, kelompok seperti Breaking the Silence dan B'Tselem berani membongkar praktik pendudukan dan apartheid. Pengakuan mantan tentara tentang operasi brutal mereka memberi bobot moral yang kuat.
Sejumlah lembaga HAM Israel bahkan secara gamblang menyebut sistem yang diterapkan pada warga Palestina sebagai "rezim apartheid". Klaim bahwa kritik terhadap Israel sama dengan anti-Semitisme pun semakin sulit dipertahankan.
Di kalangan intelektual, tokoh-tokoh Yahudi seperti Norman Finkelstein, Ilan Pappé, dan Noam Chomsky banyak di antaranya keturunan penyintas Holocaust secara vokal mengecam kebijakan Israel. Mereka bilang, tindakan ini bukan hanya salah secara moral, tapi juga merusak nilai etis Yahudi yang menghargai nyawa. Suara dari dalam seperti inilah yang membuat narasi resmi Israel kian kehilangan pijakannya.
Pada akhirnya, semua kenyataan ini membuktikan bahwa cara pandang esensialis ala Huntington tak punya dasar. Kedunguan struktural bisa tumbuh di mana saja; di pusat kekuasaan Barat maupun di kalangan elite Arab. Dominasi geopolitik bukan hasil pertarungan peradaban, melainkan hasil kolaborasi elit yang sama-sama abai pada keadilan.
Sebaliknya, suara-suara tercerahkan juga muncul dari berbagai penjuru. Mulai dari aktivis dan intelektual di Eropa, hingga warga biasa di Amerika yang membela Palestina. Garis pemisahnya bukan agama atau peradaban, tapi kesadaran.
Tragedi Gaza mengungkap akar masalah yang lebih dalam: struktur kekuasaan kolonial yang telah membentuk politik Timur Tengah sejak seabad lalu. Selama cara pandang yang menempatkan Israel sebagai kepanjangan tangan geopolitik Barat masih berlaku, ketidakadilan akan terus langgeng. Dan setiap usaha perdamaian hanya akan jadi kompromi semu belaka.
Sejarah mengajarkan, perdamaian tanpa keadilan hanyalah bentuk lain dari penindasan. Tantangannya kini ada di depan mata: beranikah kita mengakhiri struktur kolonial yang telah merenggut martabat jutaan manusia? Selama ketidakadilan dibiarkan, the clash of ignorance yang dikritik Edward Said akan tetap menjadi potret buram kegagalan peradaban kita.
Septa Dinata. Sosiolog dan Dosen di Universitas Paramadina.
Artikel Terkait
Banjir dan Longsor Landa 14 Kecamatan, Kabupaten Bandung Tetapkan Status Darurat
Polres Tangsel Gelar Jumat Curhat, Warga Serpong Sambut Hangat Ruang Aspirasi
Bupati Aceh Selatan Diperiksa Khusus Usai Umrah Saat Daerahnya Terendam
Bibit Siklon 93W Mengintai, Hujan Lebat Ancam Sulut dan Kalut