Dari perspektif nasional, Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, memaparkan capaian yang cukup menggembirakan. Hingga Oktober 2025, sudah ada 164 unit Hutan Adat yang ditetapkan, luasnya lebih dari 345 ribu hektar. Manfaatnya dirasakan oleh sekitar 87 ribu keluarga. Pengakuan ini, menurutnya, punya peran ganda: menjaga ekosistem dan sumber air, sekaligus mencegah konflik atas tanah.
Di sisi lain, perwakilan LATS, Aries Zulkarnaen, mendorong hal yang lebih mendasar. Nilai Taket ko Nene, Kangila Boat Lenge punya dasar moral dan spiritual yang kuat. Ia berpendapat nilai itu harus benar-benar hidup dalam tata ruang dan kebijakan pengelolaan hutan serta air. Bukan sekadar tertulis di dokumen.
Sementara itu, Rusli Cahyadi, peneliti BRIN, membawa analisis yang lebih mendalam. Hasil kajian antropologisnya menunjukkan perubahan nilai lokal di Sumbawa akibat gempuran tekanan sosial, ekonomi, dan modernisasi. Karena itulah, revitalisasi nilai adat menjadi sesuatu yang mendesak. Tujuannya jelas: memperkuat tata kelola SDA dan meminimalisir potensi konflik pemanfaatan ruang.
Setelah sehari penuh berdiskusi, lokakarya itu akhirnya melahirkan sejumlah rekomendasi awal. Beberapa yang menonjol adalah penyusunan Naskah Akademik untuk mengintegrasikan Adat Samawa, pemetaan ilmiah wilayah adat, dan penguatan kebijakan tata ruang yang benar-benar berpijak pada nilai lokal. Mereka juga sepakat untuk mengembangkan model pengelolaan SDA yang melibatkan komunitas adat, akademisi, dan pemerintah daerah secara langsung.
Rangkaian upaya LATS dan Fraksi PKS MPR RI ini tampaknya baru permulaan. Kerja panjang untuk menyelaraskan kearifan lama dengan tantangan baru masih menanti.
Artikel Terkait
AHY Desak Distribusi Alat Berat dan Logistik ke Daerah Bencana Sumatera
Helikopter Turunkan Bantuan, Harapan dari Langit untuk Korban Banjir Sumatra Barat
Prabowo Turun ke Reruntuhan, Janjikan Bantuan untuk Korban Banjir Bandang Padang Pariaman
Paus Leo Tegaskan: Pengakuan Palestina Satu-satunya Jalan Damai