Pemilih Jawa di Persimpangan: Budaya Tradisional Bertarung dengan Politik Digital

- Sabtu, 22 November 2025 | 10:25 WIB
Pemilih Jawa di Persimpangan: Budaya Tradisional Bertarung dengan Politik Digital

Penelitian Burhanudin Muhtadi dan Edward Aspinall tentang politik uang di Indonesia memberikan gambaran yang jelas. Dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca‑Orde Baru (2020), Muhtadi menemukan bahwa proses politik uang, distribusi bantuan sosial, dan pemanfaatan tokoh lokal untuk meraup suara adalah bukti nyata bahwa warisan patronase masih hidup dan berkembang.

Artinya, jaringan dan kultur patron-klien itu tidak hilang. Ia hanya beradaptasi, berubah fungsi menjadi distributor transaksi politik dalam konteks yang semakin transaksional.

Dalam konteks digitalisasi politik, hubungan patronase pun mengalami transformasi. Dari patronase yang bersifat personal antara aktor dan klien, bergeser menjadi semacam patronase digital. Kekuatan figur masih dominan, meski salurannya berubah. Nilai-nilai tradisional masih kuat mengikat, tapi harus dimediasi melalui jaringan digital.

Figur-figur otoritatif lama pelan-pelan mengalami pergeseran fungsi. Kini, ketika menghadapi masalah, masyarakat tidak serta-merta bertanya atau meminta nasihat pada sosok teladan setempat. Mereka justru beralih ke platform seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, atau TikTok. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan simbolik yang dulu bersifat sangat lokal, kini bekerja dalam "space of flows" yang tak terbatas secara fisik.

Dalam ketegangan antara "space of places" dan "space of flows", pemilih Jawa yang terikat pada ruang-waktu tradisional sekaligus terhubung dengan arus informasi global, terpaksa beradaptasi. Hasilnya adalah semacam hibriditas budaya politik yang baru. Persepsi politik masih bisa dipengaruhi patron jika transaksi politiknya jelas, sementara di saat yang sama, digital politik mengubah persepsi bahwa informasi bisa didapat dari mana saja, bukan cuma dari sang patron.

Kontinuitas budaya memang masih kuat. Tapi pengaruh modernisasi dan digital politik seakan menginterupsi akar-akar budaya yang selama ini menjulang di jantung masyarakat. Struktur kekuasaan dan figur otoritatif pun bertransformasi, menyesuaikan diri dengan rasionalitas digital. Yang terjadi adalah semacam negosiasi budaya, nilai, dan norma dalam pergulatan yang tak henti-hentinya.

Pemilih Jawa adalah contoh nyata bahwa dalam masyarakat jaringan, nilai-nilai budaya lokal tidak serta-merta hilang. Ia bertransformasi, beradaptasi, dan mengikuti arus zaman.

Fakta politiknya, "standing position" pemilih Jawa berdasarkan politik aliran Geertz yang terwujud dalam hasil pemilu tidak banyak berubah. Memang ada pergeseran di sana-sini, tapi etalase hasil politiknya pada akhirnya tetap kurang lebih sama.

Ahan Syahrul Arifin.
Mahasiswa S-3 Universitas Brawijaya Malang, Tenaga Ahli di DPR RI.


Halaman:

Komentar