Pemilih Jawa di Persimpangan: Budaya Tradisional Bertarung dengan Politik Digital

- Sabtu, 22 November 2025 | 10:25 WIB
Pemilih Jawa di Persimpangan: Budaya Tradisional Bertarung dengan Politik Digital

Jawa, dengan kontribusi 56 persen suara pemilih, tetaplah kunci utama pemenangan pemilu. Menariknya, temuan Afan Gaffar dalam bukunya Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System yang terbit pada 1992 itu, rasanya masih cukup relevan untuk memahami lanskap politik di sini.

Gaffar berpendapat bahwa perilaku pemilih Jawa sangat dipengaruhi oleh struktur sosial dan budaya, bukan semata-mata pertimbangan ideologi atau logika politik yang dingin. Ia mengutip klasifikasi Clifford Geertz tentang "trisula" wajah pemilih Jawa: abangan, santri, dan priyayi.

Nilai-nilai seperti rukun, harmoni, dan gotong royong begitu mengakar. Belum lagi model hubungan patron-klien yang menempatkan loyalitas pada figur otoritatif di jantung jaringan sosial tradisional. Menurut Gaffar, legitimasi kultural dan sosial inilah terutama melalui norma priyayi dan sistem patronase yang menjadi semacam tekanan moral bagi pemilih.

Gaffar bahkan menyebut perilaku politik pemilih Jawa ini dengan istilah Weberian: "the rationality of the irrational." Apa yang mungkin tampak irasional bagi ilmuwan atau masyarakat Barat, ternyata punya logika dan rasionalitasnya sendiri dalam konteks masyarakat Jawa.

Karena itu, siapa pun yang mampu mengadaptasi strategi politiknya ke dalam sistem sosial ini melalui simbol, nilai, dan jaringan yang tepat akan mampu meraup suara secara signifikan. Hegemoni Golkar selama Orde Baru, misalnya, tak lepas dari kecanggihan mereka memainkan kartu sistem sosial ini.

Tapi, benarkah nilai-nilai dan konsep patron-klien ala Jawa ini masih menjadi faktor penentu utama bagi pemilih Jawa hingga hari ini? Di tengah gempuran masyarakat informasi yang terus berubah (seperti yang dijelaskan Manuel Castells pada 2010), apakah nilai kerukunan dan harmoni masih bertahan?

Lalu, bagaimana dengan otoritas tradisional seperti kiai atau kepala desa? Masih relevankah peran mereka di tengah hiruk-pikuk politik digital? Yang jadi pertanyaan besar adalah: bagaimana politik digital kontemporer ini mempengaruhi perilaku masyarakat Jawa? Apakah terjadi negasi, disrupsi, atau justru transformasi?

Di sisi lain, kombinasi antara budaya digital, hegemoni elektoral, patronase lokal, dan politik kultural memang menjadi perpaduan yang menarik untuk diamati. Tingginya politik uang, misalnya, tak bisa lepas dari budaya patronase yang masih hidup. Jalur distribusinya pun masih mengandalkan sistem sosial yang sudah mapan.

Memang, demokrasi telah mengubah banyak hal. Tapi temuan Gaffar dalam "Javanese Voters" masih sangat berguna untuk menelaah perilaku politik pemilih Jawa, yang substansi sosialnya masih berkait erat dengan hubungan patron-klien dan nilai harmoni. Hanya saja, nilai dan norma itu kini berada dalam ketegangan dengan teknologi informasi.

Rasionalitas kultural yang masih kuat ini menjadi semakin menarik jika dilihat dari sudut pandang "masyarakat jaringan" ala Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (2010). Castells berargumen bahwa di era informasi, struktur sosial dan kekuasaan tidak lagi terpusat pada lembaga formal, tetapi tersebar melalui jaringan komunikasi dan arus informasi global.


Halaman:

Komentar