Nah, di sinilah letak persoalannya menurut kedua pemohon. Mereka merasa ketentuan ini sudah melenceng dan berpotensi mengaburkan garis komando serta fungsi utama TNI.
Dalam petitumnya, mereka meminta beberapa hal. Pertama, tentu saja agar permohonannya dikabulkan sepenuhnya. Opsi kedua, mereka meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonsistensi dengan UUD 1945 dan mencabut kekuatan hukumnya. Kalau pun tidak sepenuhnya dibatalkan, ada permintaan untuk pembatasan penafsiran. Mereka ingin pasal itu hanya berlaku untuk jabatan-jabatan yang benar-benar terkait inti pertahanan dan keamanan, seperti dewan pertahanan nasional, intelijen, siber, penanggulangan terorisme, dan sejenisnya—dengan menghilangkan frasa yang lebih luas seperti "koordinator bidang politik".
Sebagai penutup, mereka juga meminta putusan ini dimuat dalam Berita Negara jika dikabulkan. Dan dengan nada rendah hati, mereka menambahkan permohonan agar majelis hakim memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, jika pun ada pendapat yang berbeda.
Gugatan ini jelas akan menjadi perbincangan panas. Di satu sisi, ada kebutuhan akan profesionalitas TNI yang fokus pada pertahanan. Di sisi lain, kompleksitas ancaman negara modern kadang menuntut integrasi yang erat antara militer dan sipil di bidang-bidang tertentu. Tinggal nunggu bagaimana MK menimbangnya nanti.
Artikel Terkait
Boyolali Siap Jadi Tuan Rumah Kemeriahan Hari Desa Nasional 2026
Jelang Black Friday 2025, Ini Sejarah di Balik Pesta Diskon Terbesar
Tembok Sekolah Roboh di Palmerah, Motor Warga Tertimbun Reruntuhan
Kemenhaj Buka Pendaftaran Petugas Haji 2026, Simak Jadwal dan Formasinya