Rocky Gerung, filsuf publik menilai, “Narasi sederhana yang menyentuh rasa sakit rakyat akan lebih memicu amarah daripada seribu pidato DPR. Joget itu kebetulan, tetapi framing menjadikannya amunisi.”
Pada saat aksi demo, ribuan orang mendatangi Senayan. Tuntutan awal seputar turunkan gaji DPR bergeser menjadi kemarahan total. Batu beterbangan, pagar DPR Jakarta dan dibeberapa daerah dijebol, gedungnya dirusak dan divakar. Rumah rakyat yang dibangun dari uang rakyat terbakar oleh rakyat sendiri, ironi yang menyakitkan.
Siapa yang pertama kali memviralkan video itu dengan narasi provokatif? Analisis awal menduga pada jaringan buzzer politik. Selama era Jokowi, buzzer menjadi fenomena sosial tersendiri. Mereka bukan semata akun anonim, melainkan jaringan terstruktur yang kerap dipakai untuk membentuk opini, menyerang lawan politik, hingga mengalihkan isu.
Refly Harun, pakar hukum tata negara, menegaskan, “Buzzer adalah penyakit demokrasi. Mereka bukan sekedar menyampaikan pendapat, tetapi membunuh diskursus sehat dengan framing yang menyesatkan.”
Sebuah penelitian oleh Marcus Mietzner pada 2020 dalam kajiannya tentang pasukan siber di Asia Tenggara, menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan "cyber troops" paling aktif. Bila benar framing ini dikerjakan buzzer, maka publik bertanya untuk siapa mereka bekerja?
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Tahun 1966, media memainkan peran besar dalam menciptakan citra buruk PKI melalui gambar dan cerita tentang Gerwani menari-nari di Lubang Buaya. Narasi itu, meski kemudian diperdebatkan kebenarannya, sudah telanjur membakar amarah rakyat dan mengukuhkan legitimasi politik tertentu. Pada 1998, runtuhnya Orde Baru juga dipercepat oleh viralnya rekaman dan foto kerusuhan, yang menyebar lewat media cetak dan radio komunitas, lalu diperkuat oleh kabar berantai yang sulit diverifikasi. Dengan kata lain, framing visual dan narasi singkat memang punya daya ledak luar biasa dalam sejarah politik Indonesia.
Hal serupa terjadi di negara lain. Di Tunisia pada 2010, foto tubuh Mohamed Bouazizi yang membakar diri setelah disita gerobaknya menjadi simbol kemarahan dalam tragedi kerusuhan Arab Spring. Di Amerika Serikat pada 2020, video George Floyd dengan kalimat “I can’t breathe” memicu gelombang protes Black Lives Matter. Di Sri Lanka pada 2022, potongan video pejabat berpesta di tengah krisis pangan mempercepat amarah massa hingga akhirnya gedung presiden dibakar. Kesamaannya adalah sebuah visual sederhana yang diframing dengan narasi kemarahan bisa lebih memicu massa.
Dalam teori komunikasi politik, framing yang dipopulerkan oleh Robert Entman pada 1993 adalah cara mengemas realitas sehingga publik menafsirkan sesuai agenda tertentu. Begitu video joget DPR diberi label “joget gaji naik,” maka maknanya bergeser. Publik tidak lagi melihatnya sebagai hiburan HUT RI, melainkan simbol elit yang berpesta di atas penderitaan rakyat. Narasi sederhana, visual yang kuat, dan kemarahan yang sudah menumpuk menjadi bahan bakar efektif pemicu ledakan sosial. Pengamat politik CSIS, Arya Fernandes, menilai, “Kemarahan rakyat Indonesia sudah lama terakumulasi. Viral video hanya menjadi percikan api, tetapi bahan bakarnya adalah ketidakadilan ekonomi dan perilaku korup pejabat.”
Peristiwa 25?"28 Agustus 2025 memberi pelajaran pahit. Sebuah joget bisa membakar parlemen, bukan jogetnya yang salah, melainkan framing yang dimanipulasi serta kemarahan rakyat yang selama ini diabaikan. Jika elite politik tidak belajar, jika buzzer tetap dipelihara sebagai senjata, dan jika rakyat terus dibiarkan hidup dalam tekanan ekonomi, maka demokrasi kita akan semakin rapuh dan hilangnya kepercayaan rakyat kepada Pemerintah.
OLEH: AGUSTO SULISTIO
Artikel Terkait
Puji Ariani Tewas Kecelakaan Usai Jemput Anak Sakit: Kisah Pilu Driver Ojol Perempuan
Aset Muhammadiyah Tembus 10 Besar Dunia, Lalu Bagaimana dengan NU?
Banser NU Ancam Gorok Leher Karyawan Trans7, Ini Pemicu yang Sebenarnya
Tom Lembong Bongkar Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Kereta Cepat Jokowi-China