Polisi yang seharusnya menjadi wajah paling dekat dari negara dalam kehidupan sehari-hari, justru menjadi representasi paling menakutkan dari kekuasaan.
Di sinilah letak problem sosiologisnya: negara tidak lagi dipersepsi sebagai pelindung, melainkan sebagai predator. Masyarakat kehilangan kepercayaan, dan rasa kehilangan itu diekspresikan dalam berbagai bentuk protes, dari meme satir hingga unjuk rasa jalanan.
Namun ketidakpercayaan publik tidak pernah cukup kuat untuk membentuk tekanan politik yang konsisten. Akibatnya, Polri tetap melenggang dengan wajah lama, seolah-olah reformasi hanyalah episode basa-basi.
Agenda Reformasi yang Mendesak
Jika tragedi seperti yang dialami Affan tidak ingin terulang, maka reformasi kepolisian harus dijalankan dengan menyentuh tiga lapis sekaligus: struktur, kultur, dan personalia.
Pertama, restrukturisasi kelembagaan. Polri tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan Presiden. Ia harus ditempatkan dalam kerangka pengawasan sipil yang demokratis.
Banyak negara menempatkan kepolisian di bawah kementerian dalam negeri atau lembaga sipil sejenis untuk memastikan akuntabilitas. Desentralisasi sebagian kewenangan juga penting agar kontrol publik di daerah tidak lumpuh oleh dominasi pusat. Tanpa langkah ini, setiap reformasi hanya akan berakhir pada kebuntuan birokratis.
Kedua, reformasi kultural. Perubahan sejati harus membongkar mentalitas lama yang represif dan arogan, lalu menggantinya dengan kesadaran baru: polisi adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa atas masyarakat.
Kultur humanis ini harus ditanamkan sejak pendidikan awal, dipraktikkan dalam keseharian, dan diawasi ketat. Jika reformasi tidak menyentuh aspek budaya, maka wajah polisi di jalan akan tetap sama -- keras, menakutkan, dan jauh dari semangat pengayoman.
Ketiga, perbaikan sistem personalia. Tanpa meritokrasi, Polri hanya akan melahirkan perwira yang sibuk mencari patronase politik. Sistem promosi, mutasi, dan kenaikan pangkat harus sepenuhnya didasarkan pada prestasi, integritas, serta rekam jejak profesional. Perwira yang gagal memenuhi standar sebaiknya diarahkan untuk pensiun dini atau dialihfungsikan. Dengan begitu, tubuh kepolisian akan berisi orang-orang yang terpilih karena kompetensi, bukan karena kedekatan.
Politik dan Kewargaan
Reformasi kepolisian tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Selama kepolisian ditempatkan sebagai alat kekuasaan, selama itu pula ia akan sulit menjadi pengayom masyarakat.
Karena itu, reformasi kepolisian sesungguhnya adalah bagian dari agenda demokratisasi yang lebih luas: bagaimana negara menata relasinya dengan warganya sendiri.
Dalam kerangka ini, kematian Affan adalah cermin buram: betapa negara gagal memahami arti kewargaan. Warga diperlakukan bukan sebagai subjek yang harus dihormati, melainkan sebagai objek yang bisa dikendalikan dengan kekerasan.
Jika negara terus berjalan dengan pola ini, maka setiap nyawa yang hilang bukanlah kecelakaan, melainkan konsekuensi dari sebuah sistem yang cacat.
Penutup: Dari Tragedi ke Agenda Perubahan
Tragedi Affan seharusnya tidak hanya dikenang sebagai kabar duka. Ia harus dijadikan momentum untuk merefleksikan kembali posisi polisi dalam negara demokratis.
Jika kita menganggap demokrasi sebagai janji untuk menghargai martabat manusia, maka kematian Affan adalah pengkhianatan terhadap janji itu.
Reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada pidato pejabat atau seremoni seragam baru. Ia harus hadir dalam perubahan nyata yang dapat dirasakan publik: polisi yang tidak menakutkan, aparat yang hadir untuk menolong, dan institusi yang bisa dipercaya. Tanpa itu semua, setiap nyawa yang direnggut hanya akan menambah daftar panjang kegagalan negara.
Akhirnya, kita harus berani berkata dengan jujur: tewasnya Affan adalah tewasnya harapan akan reformasi setengah hati. Jika negara masih ingin menjaga legitimasi, ia harus memulai reformasi kepolisian yang sejati. Sebab tidak ada demokrasi yang bisa berdiri kokoh di atas darah warganya sendiri.
OLEH: MUH AKMAL AHSAN
Artikel Terkait
Tertahan Banjir? Begini Strategi Prabowo Selesaikan Proyek Giant Sea Wall
Tak Dikasih Makan di Pesawat, Aksi King Abdi MasterChef Bikin Netizen Geram!
Roy Suryo Bongkar Ijazah Jokowi: 99,9% Palsu!
Menkeu Purbaya Berani Terbuka: Saya Tidak Takut Siapapun! - Ada Apa?