Daerah Dipaksa Peras Rakyat Via Pajak Bumi dan Bangunan

- Kamis, 21 Agustus 2025 | 21:15 WIB
Daerah Dipaksa Peras Rakyat Via Pajak Bumi dan Bangunan


MURIANETWORK.COM -
  Ekonom Anthony Budiawan menyatakan bahwa daerah saat ini dipaksa memerasa rakyat melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini krisis fiskal sudah di depan mata dan tengah ditunggangi hingga memicu kegaduhan sosial di berbagai daerah. 

Anthony menilai, kenaikan PBB secara serentak di banyak kabupaten dan kota bukanlah fenomena biasa. “Kenaikan pajak daerah yang sangat tinggi dan tidak wajar ini tidak bisa dipandang sepele. Ini mencerminkan keuangan negara sedang dalam kondisi kritis,” kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Kamis (21/8/2025).

Menurutnya, langkah pemerintah pusat khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) cenderung lepas tangan. Alih-alih menyelesaikan akar masalah fiskal, Sri Mulyani disebut justru mendorong daerah mencari pendapatan sendiri setelah transfer dana ke daerah dipotong Rp50,5 triliun pada Februari 2025.

“Yang lebih bahaya, krisis fiskal nasional dialihkan menjadi persoalan daerah. Padahal dampaknya bisa memicu ketidakstabilan politik dan sosial di bawah,” jelas Anthony.

Lonjakan utang negara selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi dan Sri Mulyani menjadi akar masalah. Utang pemerintah, kata Anthony, naik drastis dari Rp2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp8.680 triliun di akhir 2024.

"Lonjakan itu otomatis membuat beban bunga utang membengkak empat kali lipat, hingga menekan APBN. Penerimaan pajak kini terkuras hanya untuk bayar bunga utang. Hampir seperempat dari penerimaan pajak pemerintah habis untuk itu,” sebutnya.

Data semester I 2025 memperlihatkan kondisi fiskal makin parah. Penerimaan pajak hanya Rp985,2 triliun atau turun 4,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, pembayaran bunga utang tembus Rp247,2 triliun, setara 25,1 persen dari penerimaan pajak.

Artinya, kata dia, penerimaan pajak bersih yang bisa dipakai belanja negara hanya tinggal 6,35 persen dari PDB. Angka ini sangat rendah untuk bisa bertahan.

Pun dia melihat ada keanehan dalam pola kenaikan PBB di berbagai daerah. Selain terjadi serentak, lonjakannya pun disebut tidak masuk akal, hingga ratusan persen.

Fenomena itu mengindikasikan adanya skenario besar yang berpotensi menunggangi krisis fiskal demi kepentingan tertentu. “Kenaikan pajak yang fantastis ini pasti memicu perlawanan keras. Lihat saja di Pati, Jawa Tengah, sudah berujung gejolak. Sangat mungkin gelombang serupa meluas jika tidak segera dihentikan,” tandasnya.

Sumber: monitor

Komentar