Berkaus putih dengan gambar Habib Rizieq Syihab dan tulisan “Revolusi Akhlak Bersama Imam Besar HRS,” pria itu berbicara dengan lantang, apa adanya, kadang meledak-ledak namun tak kehilangan kesantunan. Ia bukan hanya aktivis biasa. Ia adalah Soekarnois dari akar rumput yang dibesarkan di tengah semangat marhaenisme, tetapi kini bisa duduk sejajar, bahkan disambut hangat oleh kalangan yang kerap dianggap berada di seberang ideologinya. Dialah Yusuf Blegur, sosok lentur yang menyatukan dua kutub yang kerap dianggap berseberangan: nasionalisme dan Islamisme.
Lahir dari keluarga marhaen yang menempatkan gotong royong dan pendidikan sebagai nilai utama, Yusuf Blegur bukan hanya menghafal nama-nama pahlawan revolusi, tapi menghidupinya dalam kerja nyata. Namanya muncul di berbagai pergerakan mahasiswa nasional sejak awal 1990-an hingga reformasi 1998. Kiprah aktivismenya menyapu berbagai organisasi besar seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Al-Wasliyah (HIMMAH), hingga menjadi ketua senat mahasiswa di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
Sebagai Presidium GMNI 1999–2002, Yusuf tumbuh dalam asuhan langsung Taufik Kiemas, sosok penting dalam lingkungan PDIP dan suami dari Megawati Soekarnoputri. Ia belajar banyak tentang seni berpolitik dari Taufik. “Abang Taufik ngajarin saya dua hal: keras pada prinsip, lentur pada pendekatan,” kata Yusuf dalam salah satu wawancara panjangnya.
Hubungannya dengan keluarga Soekarno tak sekadar simbolik. Ia aktif di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) pada 1990–1992 dan kemudian melanjutkan pengabdian di Yayasan Bung Karno (YBK) antara 1999–2005. Di lembaga ini, Yusuf banyak berkecimpung dalam program-program edukasi ideologi Pancasila, kajian Trisakti, serta diskusi ide-ide besar Bung Karno di kalangan muda.
Namun yang mengejutkan banyak pihak, Yusuf justru menjalin hubungan akrab dengan sejumlah tokoh dan gerakan Islam, khususnya yang diasosiasikan dengan Habib Rizieq Syihab (HRS). Baginya, kedekatan itu bukan bentuk loncatan ideologis, melainkan perluasan nilai-nilai perjuangan yang sama: keadilan sosial, keberanian bicara kebenaran, dan pembelaan terhadap rakyat kecil.
Ia terlihat nyaman mengenakan kaos revolusi akhlak bergambar HRS, berbicara dalam forum-forum keumatan, bahkan bersedia turun ke jalan bersama massa umat Islam. Ia sering diundang dalam forum-forum yang diadakan Persaudaraan Alumni 212 maupun ormas-ormas Islam lainnya.
“Kalau Bung Karno hidup hari ini, beliau juga akan bersama rakyat. Di manapun rakyat bersuara, kita harus hadir. Islam bukan lawan marhaenisme. Islam dan marhaenisme itu saudara seperjuangan,” tegas Yusuf.
Tak banyak yang tahu, Yusuf juga pernah menjadi marbot—pengurus masjid. Selama hampir delapan tahun (1993–2001), ia mengurus Masjid Ar-Roofi di kawasan kampus Untag Jakarta Utara. Ia menyapu, mengatur air wudhu, memanggil jamaah dengan pengeras suara. Di sela aktivitasnya, ia menyelipkan waktu untuk membina anak-anak muda dalam pengajian dan diskusi kebangsaan.
Artikel Terkait
Pemutihan BPJS Ditegur DPR: Keadilan Rakyat atau Jalan Pintas Curang?
RS Indonesia di Gaza Usai Gencatan Senjata: Kondisi yang Bikin Miris!
3 Jalur Tersembunyi ke Tasikmalaya, Nomor 2 Paling Cepat & Kulinernya Bikin Ketagihan!
Truk Trahir di Semarang Ditabrak KA Harina, KAI: Kami Minta Maaf