'Dedi Mulyadi & Joko Widodo': Tipikal Pemimpin Yang Harus Dihindari!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam riuh rendah bangsa yang selalu punya stok “pemimpin siap jadi”, tiba-tiba muncul satu nama lagi: Dedi Mulyadi.
Seorang mantan bupati yang gaya kampanye dan kesehariannya sangat “ngabumi”, duduk di saung, makan nasi liwet, sesekali bercerita tentang kabuyutan, sambil memunguti sampah di jalanan.
Menarik, tentu. Tapi mendadak nama ini digadang-gadang jadi presiden.
Lho, kenapa jadi presiden? Karena mirip Jokowi, katanya.
Nah, ini yang perlu kita bedah pelan-pelan, seperti membedah pisang goreng yang kulitnya gosong tapi dalamnya mentah.
Sejak kapan republik ini menjadikan “kemiripan” sebagai syarat menjadi kepala negara? Sejak kapan kesederhanaan yang dimanufaktur jadi bahan bakar untuk naik ke singgasana istana? Jokowi dulu naik karena dianggap “pribumi”, sederhana, tidak neko-neko.
Tak seperti elite politik pada umumnya. Lalu apa yang terjadi? Setelah dua periode, ia justru menjadi pabrik elite baru.
Membesarkan anak dan menantu, mengawinkan kekuasaan dan kekerabatan, menyulap meritokrasi jadi monarki gaya baru.
Maka, kalau hari ini ada Dedi yang katanya “mirip Jokowi”, rakyat patut gelisah.
Dedi dan Jokowi sama-sama suka blusukan. Sama-sama suka bicara soal rakyat kecil.
Sama-sama dielu-elukan sebagai “rakyat biasa” yang jadi luar biasa. Tapi jangan lupa: kita butuh pemimpin, bukan influencer.
Mari kita bandingkan. Bung Karno, misalnya. Orator yang menggetarkan jiwa bangsa. Gagasan besarnya tentang marhaenisme masih relevan hingga hari ini.
Dia punya konsep. Pak Harto, meski penuh kontroversi, setidaknya membangun fondasi ekonomi.
Artikel Terkait
Roy Suryo Buka Suara Soal Ziarah ke Makam Orang Tua Jokowi, Alasannya Bikin Heboh!
Geng Solo Masih Berkeliaran? Ini Tantangan Terberat Prabowo di Tahun Pertama!
Prabowo Disebut Tak Semanis Jokowi, Benarkah Popularitasnya Lebih Tulus?
DPR Sindir Babe Haikal: Ancam Legalkan Produk Non-Halal, Kebijakan Ngawur atau Langkah Berani?