Baru-baru ini, muncul kebijakan kontroversial di Polres Lombok Tengah yang memberikan dispensasi bagi pelanggar lalu lintas jika mereka mampu membaca Al-Qur’an. Kebijakan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Namun, jika ditelaah lebih jauh, peraturan ini bukan hanya berpotensi diskriminatif, tetapi juga bertentangan dengan prinsip konstitusional negara yang menjunjung tinggi kesetaraan hukum bagi seluruh warga negara.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki aturan lalu lintas yang jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini mengatur bahwa setiap pelanggaran lalu lintas harus dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak ada dalam regulasi tersebut yang memberikan pengecualian berdasarkan kemampuan membaca kitab suci agama tertentu.
Konstitusi Indonesia, dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menegaskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan kata lain, hukum harus berlaku adil dan setara bagi semua orang tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau faktor lainnya.
Jika ada aturan yang memberikan perlakuan khusus bagi individu yang mampu membaca Al-Qur’an, maka peraturan tersebut jelas melanggar asas kesetaraan hukum. Non-Muslim yang melakukan pelanggaran tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan dispensasi, sehingga mereka pasti akan terkena tilang, sedangkan Muslim yang bisa membaca Al-Qur’an bisa lolos dari sanksi. Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang nyata.
Prinsip utama dalam sistem hukum modern adalah keadilan dan non-diskriminasi. Jika seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas, seharusnya ia dihukum berdasarkan tindakannya, bukan berdasarkan identitas agamanya.
Kebijakan ini menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum. Seorang Muslim yang bisa membaca Al-Qur’an akan terbebas dari sanksi, sementara non-Muslim atau Muslim yang tidak bisa membaca Al-Qur’an tetap akan ditilang. Hal ini menimbulkan ketidakadilan yang mencolok dan dapat menjadi preseden buruk dalam sistem hukum Indonesia.
Lebih jauh, kebijakan ini bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat. Non-Muslim akan merasa dirugikan karena tidak memiliki kesempatan untuk lolos dari tilang, sementara di sisi lain, kebijakan ini bisa menimbulkan kesan bahwa hukum hanya berpihak pada kelompok tertentu. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperlemah kohesi sosial dan meningkatkan ketegangan antarumat beragama.
Potensi Penyalahgunaan dan Pelemahan Penegakan Hukum
Artikel Terkait
Kabar Terbaru! Ini Jadwal Resmi Pembukaan CPNS 2026 dari Pemerintah
TNI Gagalkan Aksi Begal & Tabrak Lari di Tol, 3 Motor Curian Disita!
Kalah Telak! Anak Buah Prabowo Ungguli Mr J PSI, Ini Faktanya
Densus 88 Turun Tangan di Surabaya, Ini yang Dikejar!