Menjaga Iman di Tengah Kemeriahan: Antara Toleransi dan Tasyabbuh

- Selasa, 16 Desember 2025 | 21:50 WIB
Menjaga Iman di Tengah Kemeriahan: Antara Toleransi dan Tasyabbuh

Suasana Natal dan Tahun Baru sudah mulai terasa di mana-mana. Ucapan selamat bertebaran, atribut perayaan menghiasi ruang publik, seolah semuanya adalah bagian dari toleransi yang wajib diikuti. Kalau ada yang bersikap kritis, sering kali langsung dicap kaku atau tidak ramah. Di tengah kemeriahan yang serba "wajib" ini, mungkin kita perlu bertanya: sejauh mana penyesuaian diri itu masih bisa disebut netral?

Sebenarnya, Islam dari sananya bukan agama yang anti terhadap hidup berdampingan. Sejarah panjang menunjukkan, umat Islam bisa hidup rukun dengan pemeluk keyakinan lain, dengan prinsip keadilan dan berbuat baik. Tapi, di sisi lain, Islam juga punya batasan yang jelas. Agama ini tidak mengajarkan untuk mengaburkan aqidah hanya demi diterima atau dianggap toleran. Nah, di titik inilah konsep tasyabbuh bil kuffar perlu dipahami. Bukan sebagai alat untuk menghakimi orang lain, tapi lebih sebagai pengingat untuk menjaga identitas keimanan kita sendiri.

Lalu, apa sih sebenarnya tasyabbuh itu? Ini bukan cuma soal meniru gaya pakaian atau penampilan fisik semata. Lebih dari itu, ia menyangkut ikut serta dalam simbol, ritual, atau ekspresi khas yang menjadi jantung sebuah keyakinan lain. Persoalannya jadi rumit ketika perayaan keagamaan dikemas hanya sebagai "budaya" atau "tradisi" belaka. Batas tipis antara sekadar menghormati dan secara tidak sadar mengafirmasi keyakinan itu, lama-lama bisa kabur.

Yang berbahaya, proses ini seringkali berjalan pelan dan halus. Awalnya cuma alasan sopan santun, "biar nggak dikira fanatik". Lalu berlanjut, perlahan kita merasa harus ikut agar tidak diasingkan. Ujung-ujungnya, bisa muncul anggapan bahwa semua agama ya sama saja. Padahal, aqidah dalam Islam itu bukan barang dagangan yang bisa ditawar. Ia adalah fondasi. Cara pandang hidup yang menentukan setiap sikap dan pilihan kita.

Ambil contoh perayaan Tahun Baru. Banyak yang bilang ini momen universal, netral agama. Tapi coba kita lihat lebih dalam. Kalender Masehi, cara perayaannya yang sering hingar-bingar, dan nilai-nilai yang dibawa biasanya soal resolusi duniawi itu lahir dari peradaban sekuler. Saat kita ikut larut tanpa sikap kritis, tanpa sadar kita mungkin sedang mengiyakan sebuah nilai hidup yang meminggirkan orientasi akhirat.

Menurut sejumlah saksi, Rasulullah Saw justru membangun umat dengan cara berbeda. Beliau tidak meniru-niru tradisi luar untuk dapat pengakuan. Justru, kepercayaan diri terhadap jati diri Islamlah yang ditanamkan. Tegas dalam memegang aqidah, tapi lembut dalam pergaulan dan adil dalam bersikap.


Halaman:

Komentar