Kabut tipis masih menyelimuti Nagari Sungai Batang, Agam, pagi itu. Yusra Mahendra berdiri di antara reruntuhan yang dulunya adalah rumahnya. November lalu, banjir bandang disertai longsor menghajar wilayahnya, meninggalkan luka yang dalam. Rumahnya luluh lantak, tak bersisa. Tapi, bukan itu saja. Di pengungsian, neneknya yang ia cintai menghembuskan napas terakhir.
“Kalau keluarga waktu di dalam bencana itu dalam pengungsian meninggal dunia, itu karena jantungan dengan rasa ketakutan yang setiap hari dihantui dengan gelombang air yang sangat tinggi,” kenang Yusra, suaranya rendah namun jelas, saat kami bertemu di Nagari Maninjau, Rabu pekan lalu.
Ia bercerita, sang nenek begitu ketakutan. Bayangan air bah yang mengamuk seolah terus menghantui. Tekanan itu memicu penyakit jantung yang dideritanya, hingga akhirnya merenggut nyawa.
Menurut Yusra, situasi saat itu benar-benar chaos. Akses jalan putus total, terisolasi. Mereka terperangkap. Bantuan medis yang dinanti-nanti tak kunjung tampak. Hampir tiga hari setelah bencana, menurut pengakuannya, belum ada evakuasi atau tindakan nyata dari pemerintah untuk membuka jalan keluar. Mereka bertahan seadanya.
“Tiga hari setelah bencana dan tidak ada evakuasi dan tindakan pemerintah untuk bagaimana jalan keluarnya. Kami tetap bertahan di pengungsian,” ujarnya lagi.
Bayangkan saja, sekitar tujuh puluh orang berdesakan dalam satu tempat pengungsian kecil. Ruang untuk bernapas saja susah, apalagi untuk beristirahat.
Artikel Terkait
Tahun Baru Tanpa Dentuman: Bundaran HI Berdoa di Tengah Bencana
Pulang ke Ngawi, Menyembuhkan Lelah yang Tak Bisa Diatasi Tidur
Bundaran HI Kembali Berdenyut Usai Kemeriahan Malam Tahun Baru
Mengabaikan: Ketika Sikap Acuh Tak Acuh Menggerogoti Ikatan Sosial