Tapi siapa sebenarnya Fufufafa? Mungkin kita semua. Setiap warga yang punya sesuatu untuk dikatakan, tapi takut, atau tak punya tempat. Slank, dengan platform mereka, jadi pengeras suara untuk hantu-hantu digital itu suara yang tak berani menampakkan wajah.
Ada satu adegan dalam video klip: close-up tangan Bimbim memukul drum. Tangan yang sama pernah bersalaman dengan presiden, pernah menerima penghargaan, kini menabuh ritme perlawanan. Inilah paradoks Slank. Bagaimana caranya mengkritik sambil tetap diundang ke pesta kekuasaan? Jadi suara jalanan, padahal sudah lama enggak tidur di jalanan?
Seorang teman jurnalis pernah berbisik pada saya, "Slank itu seperti air. Mengalir ke mana saja, mengambil bentuk wadahnya."
Tapi air bisa mengikis batu. Bisa jadi banjir yang menerjang. Mungkin "Republik Fufufafa" adalah upaya mereka untuk kembali menjadi air yang menggerus, bukan air yang diam tenang dalam gelas kristal istana.
Tertawa di Tepi Jurang
Di akhir video klip, mereka tertawa. Riasan Joker mereka pecah di sudut mata. Tertawa seperti orang yang tahu lelucon terbesar adalah dirinya sendiri. Slank yang mengkritik "orang-orang sok tahu", sementara mereka sendiri telah jadi ikon yang dianggap tahu segalanya. Slank yang menyindir "sakau kuasa", padahal mereka pernah berdiri paling dekat dengan kuasa.
Tapi mungkin justru di situlah letak kejujuran mereka. Dengan jadi Joker, mereka mengakui: kami adalah bagian dari masalah. Kami tertawa karena kalau tidak, kami akan menangis. Kami menyanyi karena kalau diam, itu berarti persetujuan.
"Republik Fufufafa" bukan lagu untuk dijawab. Ini lagu untuk direnungkan. Seperti bercermin di kaca yang sengaja dibiarkan retak. Setiap orang akan melihat wajahnya sendiri yang terdistorsi. Penguasa lihat kegilaan kekuasaan. Rakyat lihat kepasrahan. Intelektual lihat kemunafikan analisis.
Slank, di usia ke-42, ibarat kawan lama yang datang tengah malam. Mengetuk pintu dengan botol minuman setengah habis.
"Dengar," katanya, suara serak. "Kita semua tinggal di negeri yang sama. Negeri di mana kita tertawa agar tidak menangis, berkata-kata agar tidak diam, berkarya agar tidak hanyut."
Kita yang mendengar, cuma bisa tersenyum kecut. Sadar bahwa Fufufafa bukan tempat jauh di peta. Dia ada di sini. Dalam diri kita yang terus bertahan di tengah kekacauan, yang masih menemukan keberanian untuk bernyanyi meski suara kita pecah.
Mungkin itu makna sebenarnya. Di Republik Fufufafa, kita semua adalah badut yang memilih terus tertawa. Bukan karena bahagia. Tapi karena itulah satu-satunya cara untuk tetap waras.
Tabik.
Artikel Terkait
Mimpi Fajar di Gaza: Laut Menelan Daratan yang Mengambang
Inara Rusli Ungkap Alasan Damai dengan Insanul Fahmi: Sudah Sah Secara Agama
Seroja Dipensiunkan, Namanya Takkan Lagi Dikenang Badai
SPKR Sorong KPK Usut Jampidsus, Diduga Gelapkan Aset Jiwasraya Rp377 Miliar