Buya Hamka, meski dikenal mendukung monogami, juga tidak menolak poligami secara mutlak. "Poligami bukan sesuatu yang hina. Yang hina adalah nafsu yang tidak dikendalikan. Boleh poligami jika itu membawa maslahat dan keadilan," terangnya.
Jadi, Islam membolehkan sekaligus mengatur poligami dengan realistis. Tujuannya jelas: memberikan solusi, bukan merugikan. Ini tercermin dalam Surah An-Nisa’ ayat 3: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”
Rasulullah SAW sendiri adalah teladan terbaik dalam praktik ini. Beliau bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Tradisi ini kemudian diikuti oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salih setelahnya.
Namun begitu, aturan yang ketat di Indonesia membawa konsekuensi lain: maraknya nikah siri. Inilah dampaknya. Perempuan dan anak-anak dari pernikahan seperti ini sering kehilangan akses atas hak-hak administratifnya. Potensi konflik pun jadi lebih besar karena statusnya yang tidak tercatat.
Memang, poligami seperti halnya monogami, punya dua wajah. Ada yang berantakan, tapi tak sedikit pula keluarga poligami yang harmonis dan bahagia. Banyak istri yang justru rela dan mendukung suaminya menikah lagi. Di sisi lain, banyak perempuan memilih menjadi istri kedua karena merasa lebih aman dibandingkan menjalani hubungan tanpa status yang jelas.
Ada juga argumen lain yang kerap dikemukakan, terkait perbedaan biologis. Laki-laki tidak mengalami menopause. Produksi hormon seksnya, meski menurun, tetap berlanjut hingga usia lanjut. Berbeda dengan perempuan. Fakta ini mungkin menjelaskan fenomena di masyarakat, di mana pria berusia 60 tahun ke atas menikah lagi dengan wanita yang jauh lebih muda, dan pernikahan mereka tetap berjalan.
Pada akhirnya, banyak yang berpendapat negara seharusnya tidak mempersulit. Jika seorang calon suami sudah jelas mampu secara finansial, sanggup berbuat adil, dan berakhlak baik, mengapa harus dipersulit? Kekhawatirannya justru mengarah ke tempat lain. Jangan sampai pelacuran menjadi pelampiasan, yang tentu membawa dampak negatif lebih luas bagi individu dan masyarakat.
Jalan keluarnya? Bila negara ingin mengurangi nikah siri, aturan poligami harus dipermudah. Misalnya, mengganti kewajiban persetujuan istri pertama dengan sekadar pemberitahuan. Tanpa kemudahan itu, fenomena nikah siri akan terus menjamur. Bagi laki-laki yang berkecukupan dan berakhlak, nikah siri sering dianggap lebih baik daripada alternatif yang jelas-jelas dosa.
Seperti kata ahli hikmah, "Aturan yang baik memudahkan jalan, aturan yang buruk menghambat langkah." Wallahu a'lam bish-shawab.
Nuim Hidayat
Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
Kapolsek dan 11 Anggotanya Dicopot Usai Bandar Narkoba Kabur, Polsek Dibakar Massa
Tanpa Kembang Api, Jakarta Siapkan Delapan Panggung dan Atraksi Drone untuk Malam Tahun Baru 2026
Patroli Dini Hari Gagalkan Persiapan Tawuran di Menteng, 6 Pemuda Diamankan
Janji Pemerintah Terendam Banjir, Respons Bencana Sumatra Masih Lambat