Maruf Amin Mundur: Uzlah Pribadi atau Pergeseran Politik?

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:06 WIB
Maruf Amin Mundur: Uzlah Pribadi atau Pergeseran Politik?

Keputusan Ma’ruf Amin mundur dari dua posisi strategisnya Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan Dewan Syuro PKB langsung menimbulkan gelombang perbincangan. Bukan tanpa alasan. Di Indonesia, namanya lebih dari sekadar ulama; ia adalah simbol nyata dari persilangan rumit antara otoritas keagamaan, kekuasaan negara, dan panggung politik.

Secara resmi, alasannya lugas: faktor usia dan keinginan untuk mengurangi beban struktural. Ia menyebutnya uzlah, sebuah istilah dalam tradisi Islam tentang penarikan diri untuk menjaga kejernihan batin. Alasan personal ini tentu saja patut dihormati.

Tapi di lapangan politik kita, jarang ada yang sesederhana itu. Keputusan seorang tokoh sebesar Ma’ruf Amin hampir selalu punya lapisan makna yang lebih dalam. Benarkah ini murni pilihan pribadi, atau ada dinamika lain yang belum sepenuhnya terungkap ke permukaan?

Figur yang Terlalu Besar, Institusi yang Bergantung

Puluhan tahun Ma’ruf Amin menjadi figur sentral. Dari NU, MUI, hingga puncaknya sebagai Wakil Presiden. Ia bukan cuma pemegang jabatan, tapi penentu arah. Posisi semacam itu memberinya legitimasi politik yang kuat sekaligus menjadikannya rujukan moral bagi banyak kalangan.

Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada satu sosok seringkali membuat institusi jadi tak seimbang. Regenerasi mandek, kepemimpinan jadi rapuh. Nah, pengunduran dirinya ini justru menguji satu hal: seberapa kokoh sebenarnya MUI dan PKB sebagai lembaga, tanpa hanya mengandalkan karisma satu orang?

Bagi MUI, posisi di Wantim bukan sekadar titel. Itu adalah penjaga arah dan simbol otoritas. Transisi yang tidak dikelola dengan baik bisa memicu kekosongan, bahkan konflik internal. Regenerasi itu perlu, tapi tanpa tata kelola yang jelas, bisa berubah jadi perebutan pengaruh yang tak sehat.

PKB: Mencari Jalan di Luar Bayang-Bayang

Lepasnya Ma’ruf dari Dewan Syuro PKB membawa pesan politik yang lebih nyata. Sebagai partai yang lahir dari rahim pesantren dan NU, PKB memang lekat dengan figur ulama karismatik. Namun begitu, politik elektoral sekarang menuntut lebih dari sekadar simbol. Partai harus bisa berdiri di atas gagasan dan kerja organisasi yang solid.

Pernyataan bahwa ia akan tetap membantu secara non-struktural mungkin bisa dibaca sebagai sinyal transisi peran. Dari aktor formal menjadi semacam mentor di belakang layar. Ini tantangan sekaligus peluang bagi PKB untuk membuktikan diri sebagai partai modern yang mandiri.


Halaman:

Komentar