Dalam banyak hubungan, perempuan jarang sekali merasa benar-benar aman. Coba bayangkan: saat mereka memberi cinta sepenuh hati, langsung dibilang 'berlebihan'. Tapi ketika memilih untuk diam dan menjaga jarak, malah dicap tidak peduli. Dua kutub itu seperti jebakan. Di antaranya, perempuan terus didorong untuk menyesuaikan diri bukan untuk hubungan yang lebih baik, tapi demi kenyamanan orang lain.
Kata "berlebihan" itu sendiri terdengar sederhana, seolah netral. Namun dalam kenyataannya, istilah itu sering jadi senjata. Senjata untuk menghakimi cara perempuan merasakan, mengekspresikan, dan memperjuangkan cintanya. Ini bukan cuma penilaian biasa. Lebih dari itu, ini adalah bentuk penertiban emosional. Sebuah cara halus untuk bilang bahwa perasaan perempuan itu terlalu banyak, terlalu dalam, dan akhirnya… terlalu merepotkan.
Dalam keseharian, tuduhan ini muncul dengan banyak wajah. Perempuan yang peduli dianggap posesif. Yang bertanya soal masa depan dinilai terlalu menuntut. Menginginkan kejelasan? Itu tanda tidak sabar. Bahkan kesedihan dan kecemasan mereka sering dianggap sekadar drama. Seolah-olah cinta itu cuma boleh ada selama tidak mengganggu ritme hidup dan kebebasan pihak lain.
Padahal, bagi banyak perempuan, mencintai itu melibatkan seluruh hati. Mereka melakukannya dengan perhatian penuh, konsisten, dan punya keinginan kuat untuk membangun kedekatan yang aman. Cinta bukan cuma perasaan, tapi juga tanggung jawab. Dalam relasi, perempuan sering mengambil peran sebagai penjaga emosi, perawat luka, penopang stabilitas pekerjaan yang melelahkan tapi jarang sekali diakui sebagai kontribusi.
Nah, ironisnya justru di sinilah masalahnya. Ketika cinta yang mereka beri mulai membutuhkan timbal balik kehadiran yang konsisten, komunikasi jujur, komitmen yang jelas barulah itu dianggap terlalu berat. Pada titik ini, cinta tidak lagi dirayakan, melainkan dihindari. Kata "berlebihan" tiba-tiba jadi dalih yang pas untuk menjauh, tanpa perlu merasa bersalah.
Budaya patriarki, mau tidak mau, memperkuat ketimpangan ini. Dari kecil, perempuan dibesarkan untuk peka dan empati. Tapi di saat bersamaan, mereka juga diharapkan tetap rasional, tenang, dan tidak emosional. Kontradiksi ini menjebak. Mereka diminta merasakan lebih dalam, tapi dihukum saat perasaan itu akhirnya terlihat.
Akibatnya, ekspresi emosi perempuan sering dianggap tidak sah. Tangis dilihat sebagai kelemahan. Amarah dicurigai sebagai tanda ketidakstabilan. Kecemasan? Itu berlebihan. Label-label ini bukan cuma meremehkan, tapi juga membangun narasi beracun: bahwa perasaan perempuan selalu perlu dikoreksi, diredam, atau disederhanakan.
Artikel Terkait
Ledakan di Masjid Homs Guncang Ibadah Jumat, 8 Jemaah Tewas
Misteri 22 Luka Tusukan di Rumah Mewah Politisi Cilegon
Program Makan Bergizi Libur Sekolah Dikritik: Dapur Harus Tetap Ngebul?
Srimulat Bangkit di Surabaya, Tessi-Kadir Siap Guncang Balai Budaya