✍🏻SHAUN KING (Aktivis muslim AS)
Ini hari setelah Natal. Saya ingin Anda menyaksikan wawancara yang saya sertakan di atas. Seorang pastor Kristen di Tepi Barat bercerita. Ia mengaku kerap dilecehkan dan diserang oleh orang Israel. Rekamannya jelas: ia diludahi, dihujat, dan Yesus dihina dengan kata-kata yang keji. Tapi ada satu hal lain yang ia sampaikan, dan ini sama pentingnya: kejadian ini bukan cuma sekali. Ini rutin. Bahkan, makin hari makin parah.
Buat Anda umat Kristen di Amerika yang selama ini diajari bahwa Israel modern adalah perwujudan iman dan warisan spiritual Anda, coba renungkan apa yang Anda lihat nanti.
Seorang pendeta Kristen Palestina, berdiri di tanah yang pernah dilalui Yesus, diludahi. Bukan cuma sekali. Bukan pula dalam situasi panas semata. Katanya, ini terjadi berulang. Sudah jadi pola. Ia punya bukti. Dan ia bilang, frekuensinya meningkat.
Bukan cuma ludah. Penghinaannya lebih dalam. Sebuah kebencian religius yang memperlakukan pendeta Kristen layaknya sampah. Ia digempur dengan cacian keji terhadap Yesus. Pelecehan semacam itu, katanya, sudah jadi hal biasa saat ia berada di ruang publik.
Inilah yang bikin semua ini sulit diterima. Selama ini dunia dicekoki narasi bahwa Israel membela "nilai-nilai Yudaisme-Kristen". Disebut-sebut "satu-satunya demokrasi" di Timur Tengah, "mercusuar kebebasan beragama". Bahwa umat Kristen harus solid bersamanya.
Tapi realitas yang dialami Kristen Palestina? Sangat berbeda. Hari demi hari, mereka diperlakukan bak barang buangan. Lihat Gaza: gereja diserang, populasi Kristen terdesak ke ambang kepunahan dalam genosida yang sudah berjalan lebih dari dua tahun. Di Tepi Barat, mereka hidup di bawah pendudukan, pos pemeriksaan, perampasan tanah, dan kekerasan para pemukim. Di Yerusalem, intimidasi dan penyerangan terhadap umat Kristen terutama di sekitar tempat suci dan saat prosesi keagamaan sering terdokumentasi. Dan hampir tak pernah ada pertanggungjawaban.
Nah, buat Anda umat Kristen Amerika yang masih tanpa ragu mengibarkan bendera dan mendukung Israel, coba tanyakan pada diri sendiri satu pertanyaan yang diajarkan Perjanjian Baru:
Siapakah sesamamu?
Karena yang menderita di sana adalah orang-orang yang klaimnya Anda kasihi lewat teologi: keluarga-keluarga yang akar Kristennya di Palestina sudah berabad-abad. Para imam, biarawati, dan jemaat yang hidup di bayang-bayang tempat-tempat yang menghiasi kartu Natal Anda. Mereka bertahan beriman di tempat lahirnya iman itu sendiri, sementara kekaisaran silih berganti.
Sekarang? Mereka dipermalukan dan diserang, terang-terangan. Sementara negara Kristen paling kuat di dunia Amerika terus mengalirkan senjata, dana, dan perlindungan politik kepada negara yang menguasai mereka.
Sungguh keterlaluan.
Kontradiksi moral ini seharusnya mengguncang mimbar-mimbar di seluruh AS.
Artikel Terkait
Sapaan Teteh dan Bahasa Hati di Pangandaran
Ahli Digital Forensik Serukan People Power untuk Makzulkan Gibran pada 2026
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.137 Jiwa, 163 Masih Hilang
PDIP Tolak Tegas Wacana Pilkada Lewat DPRD, Sebut Langsung Harga Mati