Diskusi di sebuah grup WhatsApp KBPII beberapa waktu lalu benar-benar menarik perhatian saya. Topiknya mengangkat tulisan Ahmad Murjoko, Direktur Sekolah Politik Masyumi, yang berjudul cukup provokatif: “Menangkap Gelagat ‘Kongkalingkong’ Kebijakan Bailout Pasca Bencana Sumatera”. Perdebatan itu menyentuh wilayah yang kerap kabur. Di satu sisi, jelas negara wajib turun tangan memulihkan keadaan pasca banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan yang menggelitik: jangan-jangan, ada praktik bailout entah yang terang-terangan atau yang terselubung yang menyelinap di balik skema pemulihan bencana?
Banjir bandang di tiga provinsi itu bukan cuma soal air yang datang dan pergi. Ini krisis sosial-ekonomi yang parah, memaksa pemerintah menggelontorkan anggaran besar dan kebijakan luar biasa. Persoalannya bukan cuma angka. Tapi lebih ke arah mana uang itu mengalir, untuk kepentingan apa, dan apa implikasinya nanti.
Membaca Jejak Kebijakan di Tengah Bencana
Secara resmi, pemerintah memang tak pernah menyebut ada kebijakan bailout pasca banjir. Yang ada adalah program penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Data dari BNPB menunjukkan kerugian materialnya mencapai triliunan rupiah. Rumah-rumah hancur, jalan dan jembatan putus, lahan pertanian rusak berat. Untuk menanggulanginya, dana dikerahkan dari mana-mana: Dana Siap Pakai BNPB, Belanja Tidak Terduga di APBD, sampai alokasi APBN lewat kementerian seperti PUPR dan Sosial.
Nah, di sinilah mulai muncul area abu-abu. Ambil contoh ketika negara mempercepat pembangunan jalan akses menuju kawasan perkebunan atau sentra logistik pasca banjir. Secara formal, itu sah-sah saja sebagai bagian dari rehabilitasi. Tapi secara nyata, manfaatnya sering kali lebih cepat dirasakan oleh pelaku usaha tertentu dibanding warga korban banjir yang rumahnya masih terendam. Ini mungkin bukan bailout yang terang-terangan, tapi bisa berfungsi sebagai bailout implisit. Intinya, kebijakan publik bisa jadi menyelamatkan usaha yang seharusnya menanggung risikonya sendiri.
Secara teori, bailout sendiri bisa dipahami sebagai intervensi luar biasa negara berupa dukungan keuangan atau kebijakan khusus. Tujuannya untuk mencegah dampak sistemik yang lebih luas, tapi selalu ada risiko moral hazard dan ketidakadilan jika tidak dikawal ketat.
Bailout yang Tak Tampak: Stabilitas vs Keadilan
Untuk memahami fenomena ini, pemikiran Joseph E. Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents cukup relevan. Stiglitz bilang, intervensi negara sering dibenarkan demi stabilitas. Namun, hal itu berisiko menciptakan moral hazard ketika kerugian sektor privat dialihkan ke pundak publik.
Lihatlah contoh riil di sektor perkebunan dan pertambangan di hulu sungai. Kerusakan jalan produksi atau jembatan angkut logistik pasca banjir sering dipulihkan pakai anggaran negara. Jika pemulihan ini tidak dibarengi dengan evaluasi tata kelola lingkungan dan kewajiban perusahaan untuk memperbaiki kerusakan, maka negara secara tak langsung menanggung biaya risiko yang mestinya jadi tanggung jawab korporasi. Ini bentuknya lain, tapi efeknya mirip bailout.
Artikel Terkait
27 Desember: Hari Lahir Bank Dunia, Pecahnya Korea, dan Lagu Abadi Nike Ardilla
Anggaran Bencana Miliaran Triliun, Lalu Kemana Laporannya?
Ratusan Gelondong Petasan Diamankan Polisi di Parung Panjang Jelang Tahun Baru
Di Balik Angka Indeks: Ketika IPK Menjadi Beban, Bukan Hanya Prestasi