Banyak orang tua murid berteriak lantang. Mereka minta agar MBG untuk anak-anaknya di sekolah dialihkan saja ke korban bencana. Seruan itu bergema di ruang-ruang diskusi, terdengar pilu dan mendesak.
Di satu sisi, tentu saja, niatnya teramat mulia. Siapa yang tega menolak membantu mereka yang sedang kesusahan? Tapi, Ferguso, realitanya nggak sesimpel itu. Masalahnya jauh lebih ruwet.
Pertama, MBG itu bukan program amal yang bisa digerakkan oleh rasa iba semata. Ini adalah kebijakan negara berskala nasional. Sudah ada struktur anggaran yang kaku, lengkap dengan kontrak-kontrak, rantai pasok, dan para vendor yang terlibat. Semuanya sudah dihitung, dari untung-rugi sampai bagi-bagi kepentingan. Semuanya mengeras, susah diutak-atik.
Anggarannya sudah dikunci. Mekanismenya juga nggak fleksibel. Jadi, meski hati tergerak oleh empati, kepentingan yang sudah bercokol di dalam sistem ini nggak bisa begitu saja dipindahkan.
Artikel Terkait
Dari Layar ke Hidup: 5 Drama Korea yang Menyimpan Pelajaran Mendalam
Ustadz Jazir Wafat, Telah Pergi Sang Guru dan Perpustakaan Hidung Sejarah Indonesia
Sirkus Kelas Dunia Gratis Ramaikan The Park Pejaten Akhir Tahun
Tragedi Dini Hari di Gerbang Tol Muktiharjo, 16 Nyawa Melayang