Riset IMF dalam Global Financial Stability Report menunjukkan, kondisi seperti ini memicu capital outflow dari negara berkembang menuju aset-aset yang dianggap aman. Indonesia pun tak kebal. Tekanan di pasar obligasi dan nilai tukar rupiah memaksa pemerintah dan BI untuk menyuntikkan likuiditas dengan membeli SBN, demi meredam gejolak. Di satu sisi, ini bisa disebut kebijakan stabilisasi pasar. Tapi di sisi lain, ini adalah tanda nyata bahwa ruang gerak fiskal kita terbatas.
Masalah besarnya sebenarnya bukan cuma pada jumlah uang yang beredar, tapi lebih ke mana uang itu mengalir. Likuiditas banyak berputar di instrumen keuangan, bukan di sektor riil yang menyerap tenaga kerja. Kredit macet, industri mandek, sektor kreatif kesulitan dapat suntikan dana segar.
Sementara itu, APBN yang selama ini diandalkan sebagai mesin pertumbuhan mulai kehilangan tenaga. Bayangkan, lebih dari seperempat penerimaan pajak habis hanya untuk membayar bunga utang, belum lagi pokok utang yang jatuh tempo. Akibatnya, lebih dari separuh penerimaan pajak tersedot untuk melunasi utang masa lalu. Dalam literatur, kondisi menyedihkan ini disebut debt overhang beban utang yang menghambat kemampuan negara untuk membiayai pertumbuhan.
Ada nuansa yang mengkhawatirkan. Kebijakan saat ini seolah menyamakan kondisi ekonomi sekarang dengan masa darurat Covid-19, di mana defisit tinggi ditoleransi dan BI kembali jadi penopang. Tapi ada satu perbedaan mendasar.
Saat Covid, negara secara jujur mengakui bahwa kita sedang dalam krisis. Sekarang? Narasi yang dibangun justru penuh optimisme. Robert Shiller dalam Narrative Economics (2017) bilang, narasi bukan cuma alat komunikasi, tapi instrumen kebijakan. Ketika situasi memburuk, negara memilih menanamkan harapan. Sebab harapan itu murah, tak butuh anggaran, dan cukup efektif menenangkan publik. Rakyat kecil bisa bertahan lama hanya dengan berharap. Bahkan, bisa mati pelan-pelan sambil tetap berharap.
Penutup
Masalahnya, harapan tidak bisa memperbaiki arus kas negara. Harapan tidak membuka lapangan kerja baru, apalagi membayar bunga utang. Ketika kebijakan darurat dinormalisasi dan publik dijauhkan dari fakta fiskal yang pahit, yang terjadi bukan stabilitas, melainkan penundaan krisis. Fiscal dominance lebih dari sekadar istilah teknis. Itu adalah sinyal bahwa negara sedang sekadar bertahan hidup, bukan membangun masa depan.
Dan ketika sebuah negara hidup dari harapan, bukan dari fondasi fiskal yang sehat, maka krisis berikutnya bukan lagi soal "jika", melainkan "kapan". Lalu, siapa yang sudah menyiapkan jalan keluar lebih dulu? Yang pasti, orang-orang kaya dan elite oligarki mungkin sedang bersiap-siap, mencari pintu keluar sebelum badai benar-benar datang.
(")
Artikel Terkait
Banjir Sumatra dan Dilema Kedaulatan yang Salah Alamat
ASEAD Desak Thailand dan Kamboja Akhiri Baku Tembak di Perbatasan
MBG untuk Korban Bencana: Niat Mulia yang Terganjal Birokrasi
Kekerasan dan Ketimpangan: Perlindungan Perempuan Masih Jadi PR Besar Indonesia