Banjir besar kembali menyapu wilayah Sumatra. Peristiwa ini bukan lagi sekadar fenomena alam yang rutin terjadi. Rasanya lebih seperti tagihan yang akhirnya jatuh tempo tagihan mahal dari cara kita membangun selama ini.
Setiap genangan air itu membawa pesan yang sama, meski kita sering pura-pura tak mendengarnya. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keseimbangan sosial dan ekologi, ujung-ujungnya selalu bencana. Pola pembangunan kita seperti berjalan di tempat, terjebak dalam siklus yang itu-itu saja: eksploitasi, kerusakan, bencana, perbaikan sementara, lalu ulang lagi dari awal.
Alam Punya Batas, Pembangunan Sering Tidak
Dalam konsep keberlanjutan modern, lingkungan bukan sekadar pelengkap. Ia adalah fondasi. John Elkington, misalnya, menempatkan Planet sebagai prasyarat mutlak bagi People dan Profit. Ada juga kerangka Planetary Boundaries yang menegaskan, aktivitas manusia hanya bisa stabil jika tak melampaui batas ekologis yang aman.
Nah, banjir di Sumatra ini adalah contoh nyata ketika batas itu dilanggar. Lihat saja deforestasi yang masif, degradasi daerah aliran sungai, plus tata ruang yang terlalu longgar mengakomodasi kepentingan jangka pendek. Semua itu menciptakan kerentanan struktural. Akibatnya, bencana bukan lagi anomali, melainkan konsekuensi yang logis. Negara pun terjebak, menggelontorkan dana untuk pemulihan berulang-ulang yang sebenarnya bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih produktif.
“People” yang Selalu Paling Terdampak
Ini pola yang selalu terulang. Setiap kali bencana datang, kelompok paling rentanlah yang paling menderita. Masyarakat berpendapatan rendah di kawasan rawan kehilangan segalanya: rumah, pekerjaan, akses pendidikan, bahkan rasa aman.
Amartya Sen, melalui pendekatan "human capability", bilang pembangunan sejati itu soal memperluas kemampuan manusia untuk hidup layak dan bermartabat.
Ketika banjir merusak fondasi kehidupan sehari-hari, yang runtuh bukan cuma bangunan fisik. Kapabilitas sosial dan ekonomi masyarakat ikut ambrol. Tanpa kebijakan yang sungguh-sungguh memperkuat ketahanan komunitas dari hunian layak sampai sistem peringatan dini pembangunan akan terus menghasilkan korban yang sama, di tempat yang sama.
“Profit” Semu yang Biayanya Selangit
Selama ini, pertumbuhan ekonomi kerap diukur dari seberapa cepat kita mengubah sumber daya alam menjadi angka di laporan PDRB. Tapi pengalaman pahit bencana membuktikan, profit dari model eksploitatif itu sifatnya semu dan rapuh banget. Coba lihat: kerusakan lingkungan picu gangguan logistik, produktivitas turun, investasi menguap, biaya asuransi dan pemulihan melambung.
Konsep "Creating Shared Value" dari Porter dan Kramer juga menegaskan hal serupa. Keuntungan jangka panjang cuma bisa dicapai jika ada investasi pada ekosistem yang sehat dan masyarakat yang stabil. Banjir Sumatra adalah bukti nyata. Pertumbuhan yang mengabaikan lingkungan dan sosial pada akhirnya menghancurkan basis keuntungannya sendiri. Profitnya tidak hilang seketika, tapi tergerus perlahan oleh biaya yang membengkak.
Artikel Terkait
Muatan Besi Tiga Ton Meluncur, Dua Nyawa Melayang di Cilincing
Kajari HSU Dicopot Usai OTT KPK, Dugaan Pungli Ratusan Juta Mengalir
Trotoar Benhil Mirip Arena Halang Rintang, Perbaikan Baru Dimulai 2026
Tol Cipali Sepi Jelang Natal, Volume Kendaraan Turun 25 Persen