Namun begitu, pengalaman pribadi saya selama puluhan tahun di dunia fotografi berbicara lain. Sejak jadi fotografer kecil di SD tahun 1977, hingga belajar cuci cetak di kamar gelap saat SMP, naluri saya langsung tergerak. Pas foto pria berjas hitam berkacamata di kertas itu... sangat meragukan jika dikatakan dicetak tahun 1985. Sudah empat puluh tahun umurnya? Rasanya tidak.
Kenapa? Coba kita ingat. Jogja di era 80-an. Studio foto profesional bisa dihitung jari: Star Foto, Hwa Sin, Liek Kong, dan segelintir lainnya. Tarifnya pun mahal untuk kantong mahasiswa. Mereka pakai kamera medium format, lampu studio, dan bahan kimia berkualitas. Itu standarnya.
Di sisi lain, ada juga "laboratorium kaki lima" pakai gerobak dan lampu petromax. Harganya memang murah, tapi kualitas cetaknya jauh berbeda. Hasilnya rentan memudar, berubah warna, atau menguning karena oksidasi. Itu fakta teknis yang tak terbantahkan.
Nah, lihatlah pas foto yang ditunjukkan di GPK kemarin. Kontrasnya masih tajam, warnanya masih jelas. Sangat tidak sesuai dengan karakteristik foto cetak tahun 1985 yang seharusnya sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan. Kecuali, foto itu adalah hasil cetak digital modern. Ini mirip kasus "keajaiban" font Times New Roman di skripsi yang muncul sebelum waktunya.
Jadi, sebagai seseorang yang pernah memimpin klub foto, menjadi juri, dan mengajar fotologi di kampus, saya tegaskan pendirian. Selembar kertas yang ditunjukkan itu, jika dipaksakan sebagai ijazah UGM 1985 bahkan sebelum diuji watermark atau kertasnya bisa dikatakan 99,9% palsu.
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen – Jakarta, Minggu 21 Desember 2025
Artikel Terkait
Bobby Nasution Tegaskan Bantuan Beras UEA Tak Dipulangkan, Muhammadiyah yang Salurkan
Pakar Forensik: Pembunuhan Anak Politisi PKS Diduga Substitusi Dendam
Kebakaran Kapuk Muara Hanguskan 14 Rumah, Diduga Bermula dari Korsleting
Ribuan Pelari Bersatu di Borobudur, Doakan dan Galang Dana untuk Korban Bencana Sumatera