Jumadil Akhir: Mengapa Bulan di Padang Pasir Dinamai dari Kata Beku?

- Minggu, 21 Desember 2025 | 02:06 WIB
Jumadil Akhir: Mengapa Bulan di Padang Pasir Dinamai dari Kata Beku?

Tapi di sini ada paradoks yang menarik. Meski namanya bulan beku, faktanya sekarang Jumadil Akhir bisa aja jatuh pas musim panas. Atau musim semi. Lho, kok bisa?

Rahasianya ada pada perbedaan fundamental antara penanggalan Bulan (Qamariyah/Hijriah) dan Matahari (Syamsiyah/Masehi). Tahun Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dari tahun Masehi. Selisih "ajaib" inilah yang bikin bulan-bulan Hijriah terus bergeser maju terhadap musim. Jadi, suatu saat nanti, Jumadil Akhir akan kembali lagi ke musim dingin seperti makna namanya dulu.

Catatan Perang di Tengah Dinginnya Nama

Nama bulan ini dingin, tapi sejarah yang tercatat justru ada yang membara. Ambil contoh Perang Yarmuk pada tahun 13 Hijriah. Pertempuran besar antara pasukan Khalid bin Walid melawan Kekaisaran Bizantium ini berlangsung sengit selama enam hari.

Banyak sejarawan yang menyebut pertarungan ini bak David melawan Goliath. Dan berakhir dengan kemenangan telak kaum Muslimin, yang sekaligus menghentikan dominasi Bizantium di wilayah itu. Jadi, di balik namanya yang berkonotasi beku, tersimpan momentum sejarah yang sangat "panas".

Lebih Dari Sekadar Nama

Pada akhirnya, penamaan bulan-bulan Hijriah ini memang bersifat sunnatullah, terkait erat dengan ritme alam Jazirah Arab dulu. Namun, Islam datang menyempurnakan maknanya. Pesannya jelas: cuaca boleh saja membekukan air, tapi jangan sampai hati dan semangat ibadah kita ikut membeku.

Apalagi, Jumadil Akhir ini posisinya istimewa. Ia jadi gerbang menuju tiga bulan mulia: Rajab, Sya'ban, dan puncaknya di Ramadan. Karena itu, bulan ini sebaiknya jadi masa persiapan. Masa untuk memanaskan lagi niat, menyiapkan diri, sebelum akhirnya masuk ke serangkaian bulan yang penuh kehangatan spiritual itu.


Halaman:

Komentar