Lain cerita untuk pengendara sepeda motor. Mereka memilih tak ikut antre. Menurut sejumlah saksi, banyak yang nekat menyeberangi aliran sungai langsung tentu saja, hanya saat debit air terlihat surut. Risiko? Ya, itu urusan belakangan. Sementara untuk mobil atau kendaraan roda empat, impian untuk lewat sama sekali pupus. Badan jalan dan jembatan utamanya masih rusak parah.
Dampaknya terasa di segala lini. Aktivitas warga jadi serba sulit, mulai dari urusan ekonomi, anak-anak sekolah, sampai yang butuh layanan kesehatan. Mau ke pusat kota Takengon? Pilihannya cuma dua: mengambil jalur memutar yang jauhnya bukan main, atau menunggu sungai sedang baik hati untuk diseberangi.
Antrean panjang pun jadi pemandangan sehari-hari, terutama saat jam-jam sibuk di pagi dan sore hari. Mobilitas warga memuncak, sementara akses justru menyempit. Sebuah ironi yang mereka hadapi setiap hari, sebulan setelah bencana melanda.
Artikel Terkait
Prabowo Tegaskan Loyalitas Menteri Bukan untuk Dirinya, tapi untuk Rakyat
Diskusi Buku Reset Indonesia di Madiun Dibubarkan Paksa, Panitia Bingung
Polisi Selidiki Lokasi Eksekusi Mahasiswi UMM yang Ditemukan Tersangkut di Sungai
Jumadil Akhir: Mengapa Bulan di Padang Pasir Dinamai dari Kata Beku?