Tugasku jadi marbot dan imam. Sederhana sih, tapi punya arti. Sebagai imbalannya, aku dapat tempat tinggal gratis dan ketenangan. Di sela-sela nyapu lantai masjid, buku teks S2 kubuka. Saat jadi imam, perlahan aku bangun jaringan dengan jemaah. Mereka banyak kasih dukungan moral, yang kadang lebih berharga dari uang.
Jadi, perjalanan ini ngajarin satu hal: kalau pintu formal macam beasiswa terkunci, jangan langsung putus asa. Pintu komunitas seperti masjid dan dukungan dari dosen seringnya justru terbuka lebar. Buat kalian yang latar belakang ekonominya mirip, jangan fokus cuma pada satu jalan.
Gagal di administrasi seperti pengalamanku? Itu bukan akhir. Cari aja ekosistem yang bisa bantu tekan biaya hidup. Entah itu numpang di masjid, tinggal di asrama relawan, atau kerja paruh waktu yang nyediain tempat tinggal.
Jadi, latar belakang sebagai anak petugas parkir bukan penjara. Kegagalan administrasi cuma kerikil kecil di jalan. Selama kita berani "numpang hidup" di ekosistem yang tepat, gelar magister itu bukan cuma mimpi di atas aspal parkiran ayahku.
Artikel Terkait
Diskusi Buku Reset Indonesia di Madiun Dibubarkan Paksa, Panitia Bingung
Polisi Selidiki Lokasi Eksekusi Mahasiswi UMM yang Ditemukan Tersangkut di Sungai
Jumadil Akhir: Mengapa Bulan di Padang Pasir Dinamai dari Kata Beku?
Ledakan di Gaza Tewaskan Enam Warga, Termasuk Bayi Empat Bulan