Membeli Damai & Menjual Perang?
Oleh Jimmy H Siahaan
Lagu "Happy Xmas (War Is Over)" dari John Lennon dan Yoko Ono bukan sekadar lagu Natal. Ia lahir dari kegelisahan mendalam terhadap Perang Vietnam, menyuarakan seruan agar perang diakhiri jika kita benar-benar menginginkannya. Slogan "War is Over (If You Want It)" yang mereka sebarkan lewat poster di berbagai kota tahun 1969, menjadi inti dari lagu itu. Sebuah ajakan untuk merayakan persatuan, bukan konflik.
Pesan perdamaian semacam itu ternyata masih relevan hingga sekarang. Bahkan jadi bahan perbincangan di kalangan elite politik.
Ambil contoh Donald Trump. Pernah suatu kali ia berujar, mendamaikan Rusia-Ukraina atau Israel-Hamas bisa jadi "tiket" masuk surganya. Katanya, ia butuh perbuatan baik untuk "meningkatkan peluang". Di kesempatan lain, ia malah meragukan dirinya sendiri bakal diterima di surga, meski bangga telah "membuat hidup banyak orang lebih baik".
Namun begitu, kepercayaan terhadap pihak yang kerap jadi mediator justru merosot. Survei Institut Sosiologi Internasional Kyiv (KIIS) akhir 2025 menunjukkan fakta mencengangkan. Kepercayaan publik Ukraina terhadap NATO anjlok ke 34%, dari sebelumnya 43%. Terhadap AS? Jatuh lebih dalam lagi, tinggal 21% dari 41% setahun sebelumnya.
"Data ini menunjukkan penurunan signifikan," begitu bunyi pernyataan KIIS yang dikutip media.
Pelemahan ini terjadi di tengah upaya mediasi AS untuk mengakhiri perang. Washington sendiri sejauh ini menolak menerima Ukraina sebagai anggota NATO atau mengirim pasukannya ke sana. Situasi yang cukup ironis, bukan?
Di sisi lain, sejarah punya catatan panjang tentang nilai diplomasi. Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan pernah bilang, "berbicara lebih baik daripada berperang." Presiden AS John F. Kennedy juga paham betul soal jalur diplomatik dan kebrutalan politik. Keduanya punya pengalaman pahit di medan perang Macmillan terluka parah di PD I, Kennedy cedera punggung saat bertugas di Angkatan Laut tahun 1943.
Dunia seharusnya belajar dari dua perang dunia yang menewaskan puluhan juta jiwa itu. Konflik Rusia-Ukraina yang sudah menelan sekitar dua juta korban harus diakhiri. Yang terpenting, untuk menghindari skenario terburuk: Perang Dunia III.
Tapi sepertinya pelajaran itu memudar. Andrew Mitchell, mantan menteri kabinet Inggris, mengkhawatirkan hal itu. "Dunia telah melupakan pelajaran dari Perang Dunia Pertama, ketika jutaan orang dibantai dan generasi kakek kita mengatakan kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi lagi," ujarnya.
Ada teori akademis yang menyebut perang besar berulang tiap sekitar 85 tahun, karena generasi baru melupakan pengalaman berdarah pendahulunya. Mitchell menambahkan, meski bukti menunjukkan dunia sedang menuju arah salah, pemerintah justru melupakan nilai "jaw-jaw".
"Jaw-jaw" itu istilah sehari-hari untuk obrolan panjang, yang dipopulerkan Winston Churchill dalam ungkapan, "Jaw-jaw lebih baik daripada perang-perang." Intinya, diplomasi dan negosiasi harus diutamakan.
Artikel Terkait
Kapolri Gebrak Rotasi, Polwan Kuasai Jabatan Strategis
Kapal Maulana 30 Terbakar di Perairan Tanggamus, 8 ABK Masih Hilang
Kapolri Main Licin, Perpol Kontroversial Akhirnya Dicabut
Nestlé dan Warga Pasuruan Tanam Ribuan Bakau untuk Selamatkan Pesisir