Data Menggunung, Tata Kelola Tercecer: Dilema Harta Karun Digital Indonesia

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:06 WIB
Data Menggunung, Tata Kelola Tercecer: Dilema Harta Karun Digital Indonesia

Di sisi lain, potensinya sungguh luar biasa. Data spasial bisa meningkatkan ketepatan perencanaan tata ruang. Data kesehatan mampu memperkuat sistem kewaspadaan dini wabah. Data pendidikan dapat memetakan kesenjangan kualitas antar sekolah. Tapi semua itu punya satu syarat mutlak: tata kelola data yang jelas, transparan, dan benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

Dari sudut pandang saya, kegagalan kita hari ini bukan karena kurangnya teknologi canggih. Melainkan, karena negara belum serius memandang data sebagai modal pembangunan yang strategis. Selama data masih dilihat sebagai sekadar kewajiban administratif belaka, maka wacana 'pembangunan berbasis data' akan tetap jadi slogan kosong.

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengubah keadaan, beberapa langkah kebijakan mendesak untuk segera dijalankan.

Pertama, kita butuh kelembagaan yang kuat. Bukan sekadar unit koordinasi, melainkan sebuah otoritas data nasional yang independen dan punya kewenangan nyata. Tugasnya menetapkan standar, mengawasi interoperabilitas, dan memastikan data publik dimanfaatkan untuk pembangunan.

Kedua, ubah paradigma berpikir. Geser fokus dari sekadar mengumpulkan data, ke bagaimana memanfaatkannya. Setiap sistem data pemerintah harus punya tujuan kebijakan yang jelas: untuk perbaikan apa, dan dampak apa yang diharapkan. Tanpa orientasi ini, data cuma numpuk tanpa arti.

Ketiga, bangun kapasitas analitis di dalam birokrasi. Data mentah tak ada gunanya tanpa kemampuan mengolahnya. Investasi pada data scientist dan pelatihan analisis kebijakan berbasis bukti harus jadi prioritas reformasi.

Keempat, kembangkan skema ekonomi data publik yang adil. Data pemerintah bisa dibuka untuk sektor swasta dan akademisi melalui mekanisme berbagi yang transparan dan berizin, dengan manfaat yang kembali ke negara dan masyarakat, tentu dengan privasi warga yang tetap terjaga.

Dan kelima, jangan sampai perlindungan data justru mematikan inovasi. Regulasi perlindungan harus menjadi fondasi etika, bukan penghalang, bagi pemanfaatan data untuk pembangunan.

Peluang Indonesia untuk melompat jadi negara dengan kebijakan presisi berbasis data terbuka lebar. Tapi peluang itu hanya akan jadi kenyataan jika kita berani mengubah cara pandang secara radikal: dari melihat data sebagai beban, menjadi memandangnya sebagai modal strategis. Kalau tidak, kita hanya akan jadi produsen data besar yang hasilnya dinikmati orang lain, sementara kebijakan kita sendiri jalan di tempat.


Halaman:

Komentar