Data Menggunung, Tata Kelola Tercecer: Dilema Harta Karun Digital Indonesia

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:06 WIB
Data Menggunung, Tata Kelola Tercecer: Dilema Harta Karun Digital Indonesia

Indonesia saat ini punya harta karun baru, dan itu bukan di perut bumi, melainkan di dunia digital. Namanya data. Setiap kali kita bertransaksi online, mengakses layanan pemerintah, atau sekadar berselancar di media sosial, kita meninggalkan jejak data yang jumlahnya luar biasa besar. Angkanya mencengangkan: lebih dari 78% penduduk sudah terhubung internet, dan nilai ekonomi digital diproyeksikan melampaui 80 miliar dolar AS tahun ini. Potensinya jelas. Data kini setara dengan sumber daya klasik seperti tanah atau modal. Tapi, di balik semua kemajuan itu, ada masalah yang menganga. Tata kelola kita justru tertinggal jauh. Data dikumpulkan secara masif, tapi pengaturannya masih amburadul, pemanfaatannya belum optimal, dan perlindungannya sering diabaikan.

Persoalan utamanya bukan pada kurangnya data. Tidak. Masalahnya terletak pada cara negara memandang dan mengelola harta karun ini. Selama ini, data cuma dianggap sebagai produk sampingan dari rutinitas birokrasi, bukan sebagai aset strategis yang bisa menentukan arah bangsa. Akibatnya? Kebijakan publik yang seharusnya presisi malah jadi tumpang tindih dan bias. Padahal, kita hidup di era yang katanya serba berbasis data.

Ledakan Data, Kekosongan Tata Kelola

Kita benar-benar mengalami ledakan data. Digitalisasi di mana-mana mulai dari layanan kesehatan, pendidikan, hingga bantuan sosial telah melahirkan basis data raksasa. Ambil contoh program Satu Data Indonesia. Ide awalnya bagus, untuk menyatukan data dari berbagai sumber agar perencanaan pembangunan lebih akurat. Namun kenyataan di lapangan tak semulus rencana. Fragmentasi masih jadi raja. Data antar kementerian dan daerah kerap tak nyambung, standarnya beda-beda, dan mekanisme berbaginya pun lemah.

Sebagai seorang yang mengamati kebijakan, saya melihat ini sebagai kegagalan desain yang fundamental. Negara kita rajin mengumpulkan, tapi malas membangun ekosistem tata kelola yang matang. Data justru dikurung rapat-rapat di dalam 'silo' birokrasi, dijadikan alat kuasa, bukan dibuka sebagai barang publik untuk kebaikan bersama. Alhasil, perencanaan pembangunan lebih sering mengandalkan asumsi dan negosiasi politik, bukan bukti-bukti empiris yang solid.

Belum lagi soal nilai ekonominya. Di sektor swasta, data sudah jadi komoditas panas yang diperjualbelikan dan dimonetisasi. Sementara di pemerintah, data seringkali berakhir jadi laporan tahunan yang berdebu di rak. Negara belum punya peta jalan yang jelas: siapa yang boleh memanfaatkan data publik, bagaimana skema bagi hasilnya, dan bagaimana manfaat itu bisa dirasakan kembali oleh rakyat.

Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di tahun 2022 tentu sebuah kemajuan. Tapi, UU ini lebih banyak bicara soal perlindungan dan sanksi. Ia belum sepenuhnya menjawab pertanyaan krusial: bagaimana caranya memanfaatkan data secara etis dan produktif untuk memacu pembangunan? Tanpa regulasi turunan yang kuat dan lembaga pengawas yang efektif, UU PDP berisiko besar cuma jadi macan kertas.

Data, Kekuasaan, dan Arah Pembangunan

Jangan salah, data bukanlah sesuatu yang netral. Ia selalu beririsan dengan kekuasaan. Siapa yang mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkannya, dialah yang punya kendali atas arah kebijakan. Jika kapasitas analitis negara lemah, maka kekuasaan atas data dengan mudah beralih ke aktor lain platform digital global, konsultan asing, atau vendor teknologi. Ini jelas mengancam kedaulatan kebijakan publik kita sendiri.

Contoh nyatanya bisa kita lihat dalam program bantuan sosial. Polemik data penerima yang tidak akurat terjadi berulang kali. Yang berhak malah terlewat, yang tidak berhak malah dapat. Ini bukan cuma soal salah input data. Akar masalahnya lebih dalam: lemahnya integrasi dan pemutakhiran data berbasis analitik yang solid. Alih-alih menjadi alat keadilan, data malah jadi sumber ketidakpercayaan masyarakat.


Halaman:

Komentar