Di sisi lain, peran KHL dalam menyempitkan disparitas upah cukup signifikan. Sebagai tolok ukur yang objektif, ia bisa mencegah penetapan upah yang semena-mena rendah. Selain itu, KHL juga mendorong keadilan antarwilayah. Logikanya sederhana: penyesuaian upah harus melihat biaya hidup di daerah masing-masing. Prosesnya pun perlu dilakukan secara rasional dan transparan, agar tidak timbul kesenjangan baru.
Posisi KHL ini semakin kuat berkat landasan hukum yang kokoh. Mahkamah Konstitusi sendiri sudah mengeluarkan putusan yang mewajibkan KHL jadi acuan utama penetapan upah.
Putusan MK itu tegas: pengupahan harus menjamin hak konstitusional pekerja untuk hidup layak, sesuai amanat UUD 1945. Dengan demikian, KHL bukan lagi sekadar rekomendasi, tapi memiliki kekuatan mengikat dalam kebijakan pengupahan nasional.
Menuju target Pekerja Sejahtera 2030, KHL harus dipandang sebagai batas dasar, titik awal yang tidak boleh stagnan. Ia harus terus ditingkatkan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas. Artinya, kebijakan upah kita tidak boleh berpuas diri hanya dengan memenuhi kebutuhan minimum. Arahnya harus lebih ambisius: menuju peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan nyata dirasakan.
Jadi, apa kuncinya? Penerapan KHL harus konsisten. Namun begitu, ia perlu didukung oleh pengawasan yang kuat dan dialog sosial yang sehat antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Hanya dengan fondasi seperti inilah kita bisa perlahan-lahan mengurangi disparitas upah, mewujudkan keadilan sosial, dan akhirnya mencapai impian bersama: pekerja Indonesia yang sejahtera pada 2030.
Artikel Terkait
Isu Pejabat Polisi dan Shandy Aulia Bergulir, Kolom Komentar Artis Mendadak Mati
Jade Wine Divine Spring: Konflik Abadi yang Diuji oleh Sebuah Hati yang Tak Bernoda
Tragedi di Srimulyo: Istri Hantam Suami Pakai Tabung Gas, Keluarga Pilih Maaf
Sorotan Empati: Kepala BGN Main Golf Saat Sumatera Dilanda Bencana