Ruangan sunyi. Hanya terdengar isak tangis samar. Arine di kursinya tak bisa menahan air mata. Dia menggenggam erat tangan Arjuna, yang juga terlihat ikut terharu. Seakan baru sadar, drama keluarga bisa lebih mengharukan daripada skandal politik mana pun.
"Dulu, saya tersesat," lanjut Fitrah, suaranya kini lebih tegas namun penuh penyesalan. "Saya kejar ambisi, lupa hal yang paling berharga. Saya khianati kepercayaan. Tapi keluarga saya, mereka adalah rumah saya. Mereka kompas moral yang menarik saya kembali dari kegelapan."
"Tanpa Arine, tanpa tawa anak-anak saya, saya bukan apa-apa. Mungkin saya jurnalis yang berhasil mengungkap kebusukan di luar, tapi gagal total menjaga keindahan di dalam rumah sendiri."
Di akhir pidato, Fitrah membungkuk hormat ke arah keluarganya. Saat itulah, tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Lama dan penuh rasa hormat.
Malam harinya, Fitrah kembali ke meja kerjanya. Aroma kertas dan tinta masih sama, tapi sekarang terasa hangat. Damai. Dia menatap lencana barunya, dengan perasaan lega yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Memang, tantangan baru pasti datang. Skandal lain pasti menunggu untuk dibongkar. Tapi Fitrah Nusantara sekarang paham. Selama keluarganya ada di sisinya, dia siap untuk babak apa pun, seberat apa pun. Karena pada akhirnya, integritas sejati itu berawal dan berakhir di rumah. Di dalam hati yang dicintai.
TAMAT
Artikel Terkait
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Ketika Uang Berhenti Bergerak: Dilema Ekonomi di Tengah Gelombang Pesimisme
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal
KPK Serahkan Jaksa dan Rp 900 Miliar ke Kejagung Usai OTT Banten