MK Restrukturisasi Sanksi Hak Cipta, Restorative Justice Didahulukan

- Rabu, 17 Desember 2025 | 16:36 WIB
MK Restrukturisasi Sanksi Hak Cipta, Restorative Justice Didahulukan

“Bayangkan jika pidana jadi pilihan pertama. Bisa timbul kekhawatiran besar di kalangan seniman dan musisi. Mereka jadi enggan tampil di ruang publik. Ujung-ujungnya, ekosistem seni dan budaya kita yang jadi taruhannya,” sambungnya, menggambarkan dampak yang mungkin terjadi.

Enny lalu merujuk pada Pasal 23 ayat (5) UU yang sama, yang sebenarnya sudah memberi ruang fleksibilitas. Misalnya, dengan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) jika izin belum didapat sebelumnya.

Menurutnya, ini menunjukkan bahwa UU Hak Cipta sebenarnya sudah cukup lentur. Hanya saja, penyelesaian sengketanya perlu lebih proporsional, melindungi semua pihak.

“Misal lewat ganti rugi administratif atau pembayaran ke LMK. Itu dulu. Mekanisme pidana harusnya jadi opsi terakhir,” tegas Enny lagi.

Dari pertimbangan itulah, MK akhirnya memberi pemaknaan baru pada frasa krusial dalam Pasal 113 ayat (2) huruf f tadi. Huruf f ini sendiri mengacu pada Pasal 9 tentang ‘Pertunjukan Ciptaan’.

Tak cuma itu, ada dua pasal lain yang juga ‘dilunakkan’ oleh MK.

Pertama, frasa ‘setiap orang’ dalam Pasal 23 ayat (5) kini harus dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial’. Kedua, frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam Pasal 87 ayat (1) perlu diartikan sebagai ‘imbalan yang wajar sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’.

Putusan ini, di satu sisi, tetap melindungi hak ekonomi pencipta. Di sisi lain, ia memberi napas bagi pelaku seni untuk bergerak tanpa bayang-bayang ketakutan yang berlebihan. Sebuah upaya menyeimbangkan perlindungan hukum dengan semangat berkarya.


Halaman:

Komentar