Bantengan vs Keboan Aliyan: Dua Wajah Magis Jawa Timur yang Tak Lekang Zaman

- Rabu, 17 Desember 2025 | 16:00 WIB
Bantengan vs Keboan Aliyan: Dua Wajah Magis Jawa Timur yang Tak Lekang Zaman

Kalau belakangan ini kamu sering melihat video Bantengan dari Malang yang heboh di media sosial, ada satu tradisi lain di ujung timur Jawa yang tak kalah memukau: Kebo Aliyan dari Banyuwangi. Keduanya memang seperti saudara jauh, sama-sama lahir dari kehidupan petani dan rasa syukur pada alam. Tapi wajahnya? Jauh berbeda.

Lantas, apa sih yang bikin dua kesenian bertema hewan ternak ini tetap memikat, bahkan buat anak muda zaman now? Jawabannya nggak cuma sekadar tontonan. Ada napas sejarah panjang dan filosofi hidup orang Jawa Timur di dalamnya, di mana manusia dan alam diupayakan selalu berjalan beriringan. Mari kita telusuri lebih dalam.

Dari Sawah ke Panggung: Jejak dan Makna Sang Kerbau

Di Jawa Timur, kerbau atau banteng itu bukan cuma hewan pekerja. Dia adalah simbol. Lambang kekuatan, kerja keras, dan harapan akan kemakmuran. Bantengan, yang berkembang di wilayah Malang Raya, Mojokerto, hingga Batu, konon akarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Singasari. Relief di Candi Jago punya gambaran serupa. Kesenian ini juga erat kaitannya dengan dunia pencak silat. Sosok hewan bertanduk itu dulu merepresentasikan semangat perlawanan rakyat yang gigih.

Di sisi lain, Keboan Aliyan punya cerita awal yang berbeda. Ritual ini lahir dari wangsit Buyut Wongso Kenongo di abad ke-18, sebagai sebuah bentuk tolak bala. Bagi warga Desa Aliyan di Banyuwangi, kerbau adalah mitra suci yang diyakini telah mendatangkan panen melimpah.

Nah, di sinilah perbedaan mendasarnya terlihat. Bantengan tumbuh sebagai seni pertunjukan yang menghibur, sekaligus menanamkan nilai-nilai kanuragan atau keberanian. Sementara Keboan Aliyan, hingga hari ini, tetap memegang fungsi sakralnya sebagai upacara bersih desa yang wajib digelar tiap bulan Suro.

Meski jalurnya berbeda, keduanya bertemu pada satu prinsip yang sama: penghormatan mendalam pada alam semesta. Leluhur kita rupanya sudah mempraktikkan konsep ekologis ini jauh sebelum istilah 'go green' populer. Tanduk yang gagah pada kedua tradisi ini mengingatkan, bahwa kekuatan fisik harus selalu berimbang dengan kepekaan spiritual.

Menyaksikan Pertunjukan: Antara Teatrikal dan Ritual Mentah

Secara visual, keduanya menawarkan pengalaman yang kontras. Bantengan itu teatrikal. Menggunakan properti topeng kepala banteng dari kayu, lengkap dengan tanduk asli. Kostumnya dari kain hitam, dimainkan oleh dua orang yang harus kompak seperti barongsai, tapi dengan cita rasa lokal yang kental. Gerakannya dinamis, mengadopsi langkah-langkah silat yang tegas. Kaki depan mengendalikan kepala, kaki belakang jadi penyeimbang. Sinergi dua pemain ini sendiri adalah pelajaran tentang gotong royong.

Lain lagi dengan Keboan Aliyan. Di sini, tidak ada topeng kayu atau kostum buatan. Yang ada adalah puluhan warga desa yang tubuhnya dilumuri cairan hitam pekat atau lumpur sawah, hingga menyerupai kerbau. Wajah mereka tersamarkan oleh riasan alami dari tanah, seolah benar-benar menyatu dengan bumi. Gerakannya pun lebih intuitif, meniru kerbau membajak, berkubang, atau mengelilingi desa. Estetikanya apa adanya, mentah, dan jujur. Sebuah ekspresi masyarakat agraris tanpa polesan.

Momen "Ndadi": Ketika Manusia Menyentuh Alam Lain

Ini mungkin bagian yang paling sering bikin merinding: fenomena trans atau "ndadi". Dalam Bantengan, momen ini bisa terjadi saat pemain mencium aroma kemenyan atau terbuai irama gamelan yang repetitif dan memukau. Roh leluhur atau dhanyangan diyakini merasuki tubuh penari, memberinya kekuatan untuk melakukan atraksi di luar nalar. Tapi ini bukan untuk pamer. Ini lebih sebagai bentuk komunikasi dengan dimensi lain, sebuah dialog spiritual yang terjalin.

Keboan Aliyan menghadirkan fenomena yang lebih masif. Puluhan petani bisa kerasukan secara serentak, berperilaku persis seperti kerbau. Bagi warga, ini pertanda leluhur desa telah hadir dan menerima rasa syukur mereka.


Halaman:

Komentar