Di Tengah Bencana, Jakarta Tegas Tolak Bantuan Asing, Aceh Berteriak Minta Tolong

- Rabu, 17 Desember 2025 | 07:25 WIB
Di Tengah Bencana, Jakarta Tegas Tolak Bantuan Asing, Aceh Berteriak Minta Tolong

Memang, keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional mungkin punya pertimbangan administratif dan politiknya sendiri. Tapi data BNPB bicara lebih jujur. Kemampuan negara untuk menolak bantuan asing, tidak serta-merta berarti penderitaan di lapangan sudah teratasi.

Ujian kemandirian kita saat ini bukan datang dari tekanan dunia internasional. Ujiannya justru ada pada 1.030 nyawa yang melayang, 206 orang yang hilang, dan ratusan ribu pengungsi yang hidupnya terhenti.

teriak seorang pengungsi dari Aceh, menggambarkan keputusasaan yang tak tertahankan.

Pada akhirnya, ini bukan perdebatan soal siapa yang lebih nasionalis. Ini soal waktu, nyawa, dan kedalaman luka yang diderita. Data BNPB tidak beropini. Ia hanya mencatat: 1.030 meninggal, 206 hilang, lebih dari 624.000 mengungsi, hampir 200 ribu rumah hancur. Angka-angka itu bisu terhadap jargon-jargon politik. Ia hanya menyimpan kisah tentang siapa yang bertahan dan siapa yang tidak.

Kemandirian sejati, mungkin, bukan diukur dari ketegasan menolak bantuan. Tapi dari kecepatan dan ketepatan negara dalam memastikan warganya tidak dibiarkan berjuang sendirian terlalu lama.

Jika pusat berkata "kami mampu", sementara daerah terpaksa mengetuk pintu dunia untuk menyelamatkan rakyatnya, maka yang perlu dipertemukan bukanlah semangatnya, melainkan kenyataan di medan bencana.

Negara besar bukanlah negara yang gengsi dibantu. Bukan pula negara yang gagah berpidato tapi lambat bergerak di tengah lumpur. Negara besar adalah yang berani berkata: kami bekerja keras, dan jika diperlukan, demi menyelamatkan manusia, kami terbuka untuk uluran tangan siapa pun.

Martabat sesungguhnya terletak di sana. Bukan pada penolakan, tapi pada keberpihakan yang nyata dan cepat sampai ke mereka yang paling membutuhkan.

Mungkin sudah waktunya untuk menutup buku rapat, mengesampingkan debat, dan benar-benar turun. Karena di lapangan, di antara genangan dan puing, hanya ada satu pertanyaan yang tersisa: apakah negara bergerak cukup cepat untuk mereka yang hampir kehilangan harapan?

(Ketua Satupena Kalbar)


Halaman:

Komentar