Dunia kita sekarang ini ramai sekali. Semua orang punya suara, semua orang ingin didengar. Tapi coba lihat, siapa yang benar-benar mau mendengarkan? Kita sibuk bicara, berdebat tanpa henti di media sosial soal agama, politik, dan moral. Saking sibuknya, kita lupa satu hal sederhana: pentingnya berpikir dengan tenang.
Padahal, dalam Islam, akal dan iman itu bukan musuh. Sejak dulu, keduanya seperti dua sayap. Bisa dibayangkan, mustahil terbang kalau cuma pakai satu. Sayangnya, di tengah hiruk-pikuk zaman sekarang, banyak yang malah memisahkannya. Seolah-olah kalau kamu beriman, nggak perlu mikir terlalu dalam. Atau sebaliknya, kalau kamu mikir, iman jadi goyah. Ini jelas keliru.
Al-Qur’an sendiri, berkali-kali menyerukan kita untuk menggunakan akal. Coba simpan ayat ini:
Ini bukan cuma ajakan intelektual biasa. Lebih dari itu, ini panggilan spiritual. Islam tak cuma mengajarkan cara berpikir, tapi juga cara menjernihkan pikiran. Soalnya, berpikir dengan hati yang kotor bisa bikin sombong. Sementara iman buta, tanpa dipikirkan ulang, rawan menjerumuskan kita ke fanatisme.
Nah, soal ini, dua tokoh besar punya pandangan yang menarik.
Imam Al-Ghazali, lewat kitab monumentalnya Ihya' Ulumuddin, bilang begini:
Pesan ini sederhana, tapi dalam banget maknanya. Akal itu alat, bukan tuan. Tanpa wahyu sebagai pemandu, akal bisa nyasar. Tapi tanpa akal, wahyu juga susah dipahami.
Di sisi lain, ada Ibn Rusyd dari Andalusia. Pemikir yang satu ini punya pendekatan yang agak berbeda. Dalam Tahafut at-Tahafut, ia menulis:
Bagi Ibn Rusyd, berpikir itu sendiri adalah ibadah. Logika bukan musuh wahyu, tapi justru cermin yang memantulkan cahaya kebenaran dari Tuhan.
Artikel Terkait
Dua Tahun Tanpa Gaji, Nasib 580 Pekerja Perkebunan di Sumsel Terkatung
KPK Periksa Irjen Roni Dwi Susanto Terkait Gurita Sertifikasi K3
Indonesia Mampu atau Rakyat yang Terlalu Sering Diminta Bertahan?
Gus Yaqut Kembali Diperiksa KPK, Dugaan Korupsi Kuota Haji Tembus Rp1 Triliun