Di Balik Duka Sumatera, Solidaritas Ternyata Menyembuhkan Jiwa Penolong

- Selasa, 16 Desember 2025 | 01:06 WIB
Di Balik Duka Sumatera, Solidaritas Ternyata Menyembuhkan Jiwa Penolong

Gambar-gambar itu datang bertubi-tubi. Rumah-rumah yang tersapu lumpur, wajah-wajah lelah di pengungsian, dan relawan yang berlarian membawa karung beras. Banjir dan longsor di Sumatera memang menyisakan duka yang dalam. Tapi coba perhatikan timeline media sosialmu. Di sela-sela berita mencekam itu, ada sesuatu yang lain. Tautan donasi, ajakan "open charity", gerakan kampus yang menggalang logistik. Ribuan aksi kecil itu bermunculan, spontan, tanpa komando.

Yang menarik, gerakan solidaritas ini ternyata punya efek ganda. Bukan cuma menyelamatkan korban, tapi juga secara tak terduga menguatkan mental para penolongnya sendiri. Ada semacam penyembuhan yang terjadi di balik aksi memberi. Ini bukan cuma perasaan, lho. Riset psikologi dan nilai-nilai spiritual Islam sudah lama membicarakannya.

Respons Spontan di Tengah Bencana

Begitu berita bencana tersiar, reaksi kita seringkali campur aduk. Sedih, kaget, lalu muncul dorongan untuk bertindak. Itu yang terjadi di banyak grup WhatsApp kampus atau postingan Instagram. Orang-orang langsung bergerak. Mereka mengumpulkan uang, membuka posko, mengkoordinir kiriman bantuan. Masjid kampus tiba-tiba jadi pusat logistik.

Di balik semua kesibukan itu, ada sebuah mekanisme psikologis yang bekerja. Menurut penelitian klasik James Andreoni (1989), saat kita menolong, ada sensasi hangat dan kepuasan batin yang muncul. Ini disebut Warm Glow Theory. Otak kita melepaskan dopamin dan oksitosin, yang memicu emosi positif. Jadi, rasa lega yang dirasakan relawan itu nyata secara biologis.

Di sisi lain, teori lain dari Batson (2014) menyebutkan, tindakan altruistik yang dilandasi empati bisa menurunkan tekanan emosi kita sendiri. Kok bisa? Karena fokus kita beralih dari kecemasan diri sendiri ke kebutuhan orang lain. Kita jadi merasa terhubung. Itulah mengapa banyak relawan yang awalnya sedih, justru menemukan semacam kelegaan setelah terlibat aktif.

Duka Kolektif dan Pelindung Psikologis

Jangan salah, bencana alam itu berdampak besar pada kesehatan mental banyak orang, bahkan bagi yang hanya menyaksikan dari jauh. Rasanya seperti ada kecemasan kolektif yang menyebar. Nah, di sinilah solidaritas berperan sebagai "penyangga".

Social Support Theory (Cohen & Wills, 1985) menjelaskan bahwa dukungan sosial bisa meredam efek traumatis dari stres berat. Ketika kita berkumpul dan bergotong royong membantu, kita merasa jadi bagian dari komunitas yang kuat. Perasaan "aku tidak sendirian" dan "aku bisa berbuat sesuatu" ini sangat kuat melawan pikiran bahwa kita tak berdaya. Solidaritas, dalam hal ini, bukan sekadar simbol. Ia adalah struktur psikologis yang konkret.

Mencari Makna di Balik Tragedi

Efeknya bisa bertahan lama, lho. Keterlibatan dalam aksi kemanusiaan seringkali mengubah cara pandang seseorang. Dalam psikologi eksistensial, ini disebut Meaning-Making Theory (Park, 2010). Melihat penderitaan orang lain dan ikut serta meringankannya, bisa membuat kita menata ulang prioritas hidup.

Hal-hal yang dulu dianggap penting, tiba-tiba terasa dangkal. Yang tersisa adalah kesadaran akan hubungan antar manusia yang lebih mendalam. Penelitian tentang Post-Traumatic Growth (Tedeschi & Calhoun, 1996) juga mencatat, keterlibatan dalam pemulihan pasca tragedi bisa memicu pertumbuhan pribadi. Empati kita menguat, perspektif hidup berubah, dan keyakinan bahwa kita bisa melalui masa sulit pun tumbuh. Dengan menolong, kita membangun diri sendiri.

Sudut Pandang Spiritual: Ibadah yang Menyembuhkan


Halaman:

Komentar