Bencana banjir dan tanah longsor di Aceh tak hanya menyisakan duka di tanah kelahiran. Rasa cemas dan kesulitan itu juga merambat hingga ke Yogyakarta, dirasakan oleh para mahasiswa perantauan yang berasal dari sana. Taman Pelajar Aceh Yogyakarta mencatat, setidaknya 167 mahasiswa anggotanya terdampak langsung. Kabar dari kampung halaman? Sangat sulit didapat.
Mayoritas dari mereka masih kesulitan berkomunikasi dengan keluarga. Sinyal yang hilang timbul membuat rasa khawatir kian menjadi.
“Sampai saat ini kami terkendala komunikasi dengan orang tua kami di Aceh, dengan sinyal yang belum stabil. Akhir bulan lagi kemarin kejadiannya. Kami sangat kesulitan di dalam ekonomi,”
kata Muhammad Mufariq Muchlis, Ketua Umum Taman Pelajar Aceh Yogyakarta. Ia ditemui di Asrama Cut Nyak Dhien, Senin lalu.
Yang memilukan, Mufariq mengungkapkan bahwa dirinya sendiri yang kampungnya tak langsung terdampak saja masih susah menghubungi keluarga. Bagaimana dengan yang lain? “Dominannya sama sekali belum. Saya sendiri yang di Aceh Besar itu masih susah komunikasi. Masih tunggu-tunggu sinyal,” ujarnya. Akibatnya, seratusan mahasiswa ini cuma bisa mengandalkan berita media dan media sosial untuk dapat kabar. Sumber informasi yang tak selalu pasti.
Ada satu cerita yang benar-benar menyayat hati. Mufariq berkisah, salah satu mahasiswa mereka baru tahu ayahnya meninggal dunia justru dari video di TikTok.
“Bahkan salah satu mahasiswa kami di sini, sampai hari keempat itu dia tidak tahu kabar keluarganya karena tidak ada komunikasi. Tiba-tiba dia buka TikTok, dia lihat sudah tidak ada ayahnya. Dia tahu dari medsos itu ayahnya,”
ceritanya dengan suara berat.
Kehabisan Uang Makan dan Bensin
Masalah komunikasi hanyalah satu sisi. Di sisi lain, tekanan ekonomi langsung terasa di perantauan. Banyak yang kehabisan uang saku untuk makan sehari-hari. Bahkan, untuk beli bensin ke kampus pun tak ada ongkosnya.
“Ada beberapa laporan langsung ke saya minta uang untuk makan, bensin juga untuk ke kampus dan lain-lain. Itu ada beberapa,”
kata Mufariq. Hidup sebagai mahasiswa perantauan memang kerap susah, tapi situasi ini jelas jauh lebih berat. Keluarga yang biasa menjadi penyokong di kampung kini justru sedang berjuang sendiri.
Melihat kondisi itu, teman-teman yang tak terdampak langsung di Yogyakarta bergerak. Mereka mendirikan dapur umum di asrama. Upaya gotong royong ini bertahan sampai 8 Desember, sebelum akhirnya terkendala biaya. “Kita buka dapur umum di sini untuk mahasiswa yang terdampak. Misal tidak bisa beli makan,” jelas Mufariq. Mereka juga mengajak mahasiswa yang indekos di luar untuk tinggal sementara di asrama. Saling jaga, saling menguatkan.
Artikel Terkait
Bencana Alam atau Ulah Manusia? Banjir dan Longsor yang Bikin Malu di Mata Dunia
Cinta Bangsa yang Cerdas: Ketulusan sebagai Etika, Bukan Sekadar Slogan
Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Polda, Klaim Hanya di Pengadilan Ternyata Tak Berlaku
Jurnalis Siap Tempur: Pelatihan Khusus untuk Liputan di Daerah Rawan