Di Pangandaran, Pak Wagyo Bertahan dengan Papan Selancar dan Filosofi Sepuasnya

- Minggu, 14 Desember 2025 | 04:00 WIB
Di Pangandaran, Pak Wagyo Bertahan dengan Papan Selancar dan Filosofi Sepuasnya

Hal lain yang sering luput dari perhatian pengunjung adalah soal kebersihan. Memang ada petugas, tapi jadwalnya tak menentu. “Ada, tapi mempet,” ujarnya sambil terkekeh. Seringkali, para pedagang harus membersihkan area sendiri. Sampah datang dan pergi. “Susah,” ia menambahkan, tapi senyumnya tak hilang. Bukan tanda menyerah, lebih karena ia sudah terlalu biasa menghadapinya.

Di balik semua ini, Pak Wagyo tetaplah seorang kepala keluarga. Ia punya istri dan empat anak. Rumahnya tak jauh dari pantai, persis di belakang kantor Samsat. Dekat. Rutinitasnya pun jadi sederhana: berangkat pagi, pulang sore. Tak perlu ongkos besar. Cara itu membantunya menyimpan sedikit dari apa yang ia peroleh.

Hidup keras, tapi prinsipnya jelas. “Sebaiknya kita sehat,” tegasnya. Baginya, kesehatan jauh lebih berharga daripada pemasukan harian. Selagi tubuh masih kuat duduk di lapak, masih bisa menyambut pengunjung, hidup akan terus berjalan.

Lalu, apakah penghasilannya cukup? “Ya, harus cukup. Kita cukup-cukupi.”

Jawaban singkat itu menyimpan sebuah kenyataan. Tak ada kepastian dalam hidupnya, yang ada hanya penerimaan dan keyakinan bahwa esok hari bisa membawa rezeki yang berbeda.

Di akhir obrolan, ia tak banyak meminta. Tak ada kontak yang bisa dihubungi, ia tak terbiasa dengan gawai. Lapaknya di tepi pantai itulah satu-satunya ‘alamat’. Jika ada yang mencari, ia akan ada di sana, di antara papan-papan selancar bernama Ayu, LG, AA, Sera, dan Vira. Nama-nama sederhana yang memberi nyawa pada benda-benda penopang hidupnya.

Dunia di luar sana terus berubah. Wisatawan datang dan pergi. Ombak tak pernah sama dari hari ke hari. Tapi Pak Wagyo tetap di tempat yang sama. Ia menjaga pantai yang membesarkannya, dengan caranya sendiri. Tidak mewah. Tidak besar.

Tapi nyata.

Inilah lelaki yang bertahan di tepi ombak. Diam, setia, dan tak pernah benar-benar pergi dari Pangandaran tempat yang sudah menjelma menjadi hidupnya sendiri.


Halaman:

Komentar