Dari Kelas ke Medan Perang: Kisah Soedirman, Guru Muhammadiyah yang Jadi Panglima

- Kamis, 11 Desember 2025 | 06:40 WIB
Dari Kelas ke Medan Perang: Kisah Soedirman, Guru Muhammadiyah yang Jadi Panglima

Soedirman, Kader Persyarikatan Yang Jadi Panglima Pertama

Bagi warga Muhammadiyah, sosok Jenderal Soedirman itu lebih dari sekadar panglima. Ia adalah gabungan sempurna antara ikon, legenda, dan teladan. Melihat fotonya saja, kita serasa perlu membenahi sikap. Beliau adalah produk terbaik dari kaderisasi Persyarikatan proses yang keras sekaligus lembut, yang berhasil mencetak pribadi-pribadi teguh dalam prinsip.

Jauh sebelum namanya harum sebagai panglima gerilya, Soedirman adalah seorang guru di Sekolah Muhammadiyah. Guru sejati. Bukan tipe yang sering mangkir. Di kelas, ia dikenal tegas. Ia tak segan menegur murid yang malas mandi, tapi juga sabar membimbing yang bersemangat belajar. Karismanya yang alami membawanya menjadi kepala sekolah, semua dijalani tanpa gesekan berarti.

Tak cuma mengajar, hidupnya juga diwarnai aktivitas di Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. Di sinilah bakat memimpinnya benar-benar bersinar.

Menurut sejumlah saksi, Soedirman adalah pemimpin yang jarang sekali naik pitam. Tegas, iya. Tapi juga punya kesabaran yang luar biasa. Kalau ada anak yang bandel, bukannya dihukum, ia justru diajak bicara dari hati ke hati. Gaya khas kader Muhammadiyah: bicaranya pelan, tapi dampaknya mendalam.

Lalu datanglah masa pendudukan Jepang. Situasi saat itu memang membingungkan banyak orang. Namun, Soedirman punya pilihan yang jelas. Ia memutuskan bergabung dengan PETA dan langsung dipercaya memimpin sebuah batalyon. Bukan karena ambisi, tapi lebih karena orang-orang sepakat: dialah yang paling pantas.

Di sisi lain, setelah kekalahan Jepang, langkah beraninya justru semakin terlihat. Ia memimpin perebutan senjata di Banyumas. Sebuah keputusan yang nekat. Sementara yang lain mungkin menunggu komando dari atas, Soedirman bertindak. Prinsipnya mirip dengan nilai Persyarikatan: jika ada kesempatan untuk menegakkan yang benar, kerjakan dulu. Lapor belakangan. Dan instingnya ternyata jarang salah.

Puncaknya adalah pertempuran di Ambarawa. Pertempuran inilah yang membuat namanya menggema ke seluruh penjuru Nusantara. Dengan strategi yang cerdik seolah hasil perenungan panjang di tengah malam ia berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Rakyat bersorak, pimpinan pusat terkesima, dan namanya pun mulai disebut dengan nada penuh hormat.


Halaman:

Komentar