Setiap tawa Arine, setiap pelukan Arjuna dan Kinara, terasa menusuk hati Fitrah. Ribuan jarum. Hubungan terlarangnya dengan Syakira itu semakin dalam, menggerogoti janji suci yang pernah ia ucapkan di depan istrinya, sang perawat. Ia tahu.
Fitrah mencoba membohongi dirinya sendiri. Ia bilang ini soal kemanusiaan, soal memastikan Syakira dan ketiga anaknya bisa hidup lebih layak semacam bantuan hukum gratis yang dibumbui emosi. Tapi di lubuk hatinya, ia paham. Itu cuma pembenaran egois. Pembenaran untuk hasrat dan kekosongan yang melanggar semua kode etik pernikahannya.
Di sisi lain, Arine merasakannya. Naluri seorang istri dan perawat itu tajam. Aura dingin mulai menyelimuti rumah mereka. Kehangatan yang dulu membara, kini tinggal bara sisa. Fitrah sering melamun, pandangannya kosong. Ponselnya? Selalu dalam mode senyap, seolah menyembunyikan sesuatu yang kotor.
Arine tidak langsung marah. Dia memilih mengamati. Hatinya hancur perlahan, mengumpulkan potongan demi potongan puzzle keretakan rumah tangganya dengan sabar yang menyakitkan. Mirip mengumpulkan barang bukti di tempat kejadian perkara sebuah bencana.
Lalu, datanglah sore yang kelabu itu. Saat Fitrah mandi, ponselnya bergetar di meja. Arine melihatnya. Kontaknya bernama ‘Syakira Nada Palsu’. Dengan jantung berdebar kencang, dan hati yang sudah remuk oleh kecurigaan, ia membuka pesan itu.
Dunia seakan berhenti.
Kata-kata mesra, janji palsu, ungkapan rindu yang seharusnya hanya untuknya, terbaca jelas. Air mata Arine langsung tumpah, membasahi layar. Pernikahan yang dibangun atas kepercayaan dan integritas itu tiba-tiba terasa seperti abu, mudah hancur diterpa angin.
Ketika Fitrah keluar dari kamar mandi, handuk masih melilit pinggang, ia mendapati Arine duduk di tepi tempat tidur. Ponsel ada di genggamannya. Tatapan istrinya itu tatapan terluka yang langsung menghancurkan jiwa Fitrah saat itu juga. Dunianya runtuh. Ia tak bisa menyangkal. Rasa bersalah yang luar biasa besar memenuhi dadanya, berat seperti dituntut pasal berlapis.
"Maafkan aku, Arine," ucap Fitrah lirih, suaranya getar menahan tangis.
Arine menatapnya, air mata mengalir deras di pipinya yang tirus.
"Kenapa, Fit? Apa kurangnya aku? Apa kurangnya Arjuna dan Kinara di matamu? Janji suci kita dulu, di depan penghulu dan keluarga... apa artinya sekarang?"
Fitrah tak bisa jawab. Dia cuma bisa menangis dalam diam. Penyesalan membuncah, merindukan kedamaian yang ia sendiri hancurkan. Dia sadar, kini dialah tersangka utamanya.
Beberapa hari berikutnya, rumah mereka diselimuti keheningan yang memekakkan. Arine memilih diam. Lukanya terlalu dalam untuk diobati dengan kata-kata. Fitrah merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Setiap sudut mengingatkannya pada kebahagiaan masa lalu yang kini terasa menyakitkan.
Artikel Terkait
Gagasan Natal Bersama Menag Picu Polemik, Dikecam sebagai Penyimpangan Akidah
Dari Kelas ke Medan Perang: Kisah Soedirman, Guru Muhammadiyah yang Jadi Panglima
Wakil Wali Kota Bandung Tersandung Kasus Pemerasan Proyek
Warga Mimika Antusias Ikuti Bakti Kesehatan Gratis dari TNI AD