Kajian Ellison dkk. (2012) menunjukkan hutan punya tiga fungsi kunci saat hujan ekstrem datang: meningkatkan infiltrasi, memperlambat aliran air, dan mengendalikan erosi. Ketika fungsi-fungsi ini hilang, dua DAS yang dihujani dengan intensitas sama bisa menghasilkan dampak banjir yang sangat berbeda.
Jadi, benar bahwa hutan bukan solusi mutlak. Tapi keliru jika berkesimpulan kondisi tutupan lahan tidak berpengaruh sama sekali.
Norma Saintifik: Jangan Sederhanakan yang Kompleks
Membuat klaim tegas bahwa sawit atau deforestasi tidak berperan dalam bencana banjir seharusnya dilandasi analisis mendalam. Mulai dari data tutupan lahan puluhan tahun, pemodelan hidrologi, kajian sedimentasi, hingga data hidrograf sungai. Tanpa itu, klaim tersebut berisiko menjadi penyederhanaan yang berbahaya, atau bahkan mencerminkan bias tertentu sesuatu yang bertentangan dengan semangat ketidakberpihakan dalam ilmu pengetahuan.
Dalam ranah kebijakan publik, memandang banjir ekstrem semata sebagai persoalan cuaca juga berisiko. Pendekatan seperti ini mengabaikan peluang untuk memperbaiki tata kelola daerah hulu, yang justru secara ilmiah terbukti bisa menekan risiko bencana.
Ke Depan: Kolaborasi Meteorologi dan Ekologi dalam Kebijakan
Riset-riset bereputasi memberi kita pelajaran penting. Pertama, hutan memang tidak menghapus risiko banjir, tapi secara konsisten meredam dampaknya. Kedua, perubahan penggunaan lahan berdampak terukur pada siklus air dan erosi. Ketiga, saat hujan ekstrem datang, kondisi DAS-lah yang menentukan skala kerusakan. Keempat, pengelolaan DAS yang baik adalah bagian dari adaptasi perubahan iklim.
Oleh karena itu, kebijakan mitigasi banjir di Indonesia harus berjalan pada dua rel sekaligus. Kita harus beradaptasi terhadap hujan ekstrem yang makin sering akibat perubahan iklim. Di sisi lain, kita juga harus serius memulihkan kapasitas ekologis DAS lewat konservasi, rehabilitasi lahan, dan penegakan tata ruang. Mengabaikan salah satunya hanya akan menghasilkan kebijakan yang pincang.
Penutup: Banjir Besar Tak Pernah Cuma Soal Cuaca
Kesimpulannya, bukti ilmiah dari hidrologi internasional cukup jelas. Hujan ekstrem adalah pemicu, tapi kondisi lanskaplah yang menentukan apakah peristiwa itu berakhir sebagai banjir biasa atau berubah menjadi bencana besar.
Diskusi publik tentang banjir di Sumatra sebaiknya tidak berhenti pada analisis siklon tropis semata. Jika ingin mengurangi risiko bencana di masa depan, perbaikan tutupan lahan, konservasi hutan, dan penataan DAS harus jadi bagian tak terpisahkan dari strategi nasional.
Meteorologi mungkin memberi kita bab pembuka cerita. Namun, kondisi di hulu sungai dan bagaimana kita mengelolanya, itulah yang akan menulis akhir dari kisah tersebut.
Referensi:
Bosch, J. M., & Hewlett, J. D. (1982). A review of catchment experiments to determine the effect of vegetation changes on water yield and evapotranspiration. Journal of Hydrology, 55, 3–23.
Bradshaw, C. J. A., Sodhi, N. S., Peh, K. S.-H., & Brook, B. W. (2007). Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world. Global Change Biology, 13(11), 2379–2395.
Brown, A. E., Zhang, L., McMahon, T. A., Western, A. W., & Vertessy, R. A. (2005). A review of paired catchment studies for determining the effects of land-use change on streamflow. Journal of Hydrology, 310, 28–61.
Ellison, D., Futter, M. N., & Bishop, K. (2012). On the forest cover–water yield debate: from demand- to supply-side thinking. Global Change Biology, 18(3), 806–820.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam