Duka datang bertubi-tubi ke Sumatera. Di Aceh, banjir merendam ribuan rumah. Di Sumatera Utara, tanah longsor menggerus kehidupan. Sementara di Sumatera Barat, galodo banjir lahar dingin yang ganas menyapu lembah. Pulau ini benar-benar sedang dihajar bencana hidrometeorologi yang masif. Tapi, di balik semua kerusakan yang terlihat jelas itu, ada krisis lain yang diam-diam merusak. Sering luput dari perhatian, yaitu krisis komunikasi.
Bayangkan penanganan bencana sebagai sebuah peperangan. Saat ini, pemerintah seperti kalah di dua front sekaligus. Di lapangan, koordinasi terasa gagap dan tumpang tindih. Sementara di dunia digital, narasi resmi mereka kalah cepat oleh jari-jari lincah netizen. Hasilnya, potret penanganan musibah ini jadi buram. Masyarakat bingung, siapa sebenarnya yang memimpin? Dan informasi mana yang bisa dipegang?
Gagap di Darat: Ego Sektoral yang Membingungkan
Istilah "Gagap di Darat" ini bukan soal alat berat yang lambat. Ini soal informasi yang macet karena koordinasi yang amburadul. Dalam krisis di Aceh, Sumbar, dan Sumut, penyakit lama birokrasi kita kambuh lagi: ego sektoral.
Komunikasi masih berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, Balai Jalan Nasional, sampai aparat keamanan, kerap mengeluarkan pernyataan yang tidak nyambung satu sama lain.
Contoh nyatanya? Informasi jalur alternatif. Sering banget terjadi. Di satu titik, petugas menyuruh lewat jalur A. Eh, begitu sampai di lokasi, instansi lain bilang jalur itu tidak bisa dilalui. Kebingungan seperti ini berakibat fatal. Di saat warga butuh kepastian untuk mengirim logistik atau mengevakuasi diri, mereka malah dapat "bola ping-pong" birokrasi.
Tanpa pusat komando tunggal yang benar-benar berfungsi, komunikasi di darat jadi ramai tapi tak jelas. Warga di lokasi bencana akhirnya lebih percaya pada naluri dan info dari mulut ke mulut ketimbang arahan resmi yang kaku dan kerap telat sampai.
Kalah di Maya: Tertinggal oleh "Jurnalisme TikTok"
Kalau di darat mereka gagap, di dunia maya pemerintah jelas tertinggal jauh. Kita sekarang hidup di zaman dimana video banjir bandang di Agam bisa viral di TikTok cuma dalam hitungan detik. Ditonton jutaan orang dan memicu kepanikan, jauh sebelum pemerintah selesai merangkai rilis pers.
Intinya, pemerintah gagal paham. Di komunikasi krisis digital, kecepatan adalah segalanya.
Artikel Terkait
Zulhas Bela Diri: Tesso Nilo di Riau, Banjir di Aceh, Kok Saya yang Disalahkan?
Hashim Djojohadikusumo: Stanza Kedua Indonesia Raya, Kunci Menuju Indonesia Bahagia
Anggota DPR Usulkan Tim Kilat Kominfo untuk Lawan Hoaks dalam Hitungan Menit
Kasus KM 50 Dibawa ke Pengadilan Dunia, Rizieq Sebut 26 Pejabat Negara Dilaporkan ke ICC