Kisah Syekh Nawawi al-Bantani dan Banjir Makkah
Di masa mudanya menuntut ilmu di Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani mengalami banjir besar melanda kota suci itu. Banyak kitab milik pelajar asal Nusantara yang rusak terendam.
Dengan hidup yang sangat sederhana, ia mengumpulkan kawan-kawannya. "Kitab bisa dicari lagi," katanya. "Tetapi orang yang masih hidup harus saling menjaga."
Lalu, dengan tangannya sendiri, ia menyalin ulang catatan-catatan temannya yang hilang. Musibah banjir itu justru menguatkan ikatan persaudaraan di antara mereka.
KH Hasyim Asy’ari Menghadapi Gempa Jombang 1916
Februari 1916, gempa dahsyat mengguncang Jombang. Banyak rumah roboh, termasuk bangunan di sekitar Pesantren Tebuireng. Para santri panik, ada yang menangis, ingin pulang.
Kiai Hasyim Asy’ari keluar, berdiri di tengah lapangan, dan menyeru dengan suara lantang: "Jangan takut pada guncangan bumi. Takutlah jika hati kalian yang berguncang."
Seruan itu langsung meredakan kepanikan. Ia lalu memerintahkan santri berkumpul, berdoa bersama, lalu membentuk tim untuk membantu warga memperbaiki rumah. Dari sinilah Tebuireng berubah jadi pusat bantuan pertama di Jombang. Guncangan bumi justru mengokohkan pondasi pesantren.
KH Ahmad Dahlan dan Ujian Kebakaran Kauman
Sebelum Muhammadiyah besar seperti sekarang, KH Ahmad Dahlan diuji musibah berat. Kebakaran hebat melanda Kampung Kauman, tempat ia tinggal. Rumah-rumah hangus, banyak pengikutnya kehilangan tempat berlindung.
Ia tidak sibuk mengeluh. Justru, Kiai Dahlan mengumpulkan jamaah dan menyampaikan pesan penting: "Bencana adalah seruan agar kita memperbaiki kehidupan sosial."
Dari tragedi pahit inilah ia mengorganisir bantuan, mendirikan rumah darurat, dan menggerakkan semangat tolong-menolong. Cikal bakal gerakan filantropi Muhammadiyah banyak terinspirasi dari pengalaman ini.
KH Bisri Musthofa dan Banjir yang Menghentikan Pengajian
Suatu kali, KH Bisri Musthofa sedang asyik mengisi pengajian di Tegal. Tiba-tiba, banjir datang menerjang. Air naik hingga masuk ke panggung tempatnya berdiri. Panitia meminta acara dihentikan.
Beliau malah tersenyum. "Kalau hanya air, kita bisa bertahan," ujarnya diselingi tawa. "Yang bahaya itu banjir dosa."
Keceriaannya menenangkan hati jamaah. Tapi setelah itu, ia turun langsung membantu mengungsikan warga, khususnya ibu-ibu dan anak-anak. Hari-hari berikutnya dihabiskannya untuk keliling kampung menyalurkan bantuan. Humornya menenangkan, tindakannya yang menguatkan.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
842 Kilogram Obat-obatan dari Yogya Dikirim untuk Korban Bencana di Tiga Provinsi
Jenazah Terakhir Sandera Jadi Kunci Gencatan Senjata Fase Kedua Israel-Hamas
Ketika Ibadah Jadi Konten: Dilema Pamer Kesalehan di Era Digital
Susno Duadji Sindir Menhut: Jangan Lempar Bola ke Presiden, Urusan Banjir Itu Tanggung Jawabmu!